Perdebatan mengenai panjang atau pendek sebuah homili atau kotbah telah menjadi isu yang umumnya mengemuka di kalangan umat Katolik sejak dahulu kala.
![]() |
Pentahbisan Mgr. Hironimus Pakaenoni, Pr di Gereja Katedral Kupang. |
SIANAKAREN.COM -- Tata Perayaan Ekaristi Gereja Katolik sangat kental dengan ritus-ritus. Salah satunya adalah Ritus Sabda yang didalamnya berisikan kotbah atau homili.
Umumnya, kotbah/homili dibawakan oleh imam yang memimpin perayaan Ekaristi atau yang ditunjuk (jika misa konselebran) setelah membacakan Injil.
Secara sederhana, khotbah merupakan bentuk pewartaan dalam memperkenalkan Kristus dan ajaran-ajaran-Nya kepada umat yang beriman kepada-Nya.
Kotbah dapat dipahami sebagai suatu pengajaran tentang iman sehingga umat diharapkan dapat memahami secara jelas arti dan makna yang ditulis dalam Kitab Suci.
Kata kotbah sebetulnya berasal dari Bahasa Arab, 'khotbah' atau 'khataba' yang artinya pidato atau meminang.
Dalam bahasa yang sederhana, khotbah adalah pidato yang disampaikan untuk menunjukkan kepada pendengar mengenai pentingnya suatu topik pembahasan.
Dalam literatur Barat, kotbah memiliki istilah yang berbeda-beda sesuai dengan pengguna bahasa. Misalnya dalam versi Latin, kotban adalah 'praedicatio', 'preaching' (Inggris), dan 'preek' (Belanda).
Dalam bahasa-bahasa ini kotbah berarti berbicara di hadapan banyak orang mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan (lihat Mangunharjono, 2010).
Dalam kerangka ibadat/liturgi, kotbah adalah pemberitaan atau pewartaan mengenai butir-butir ajaran agama atau iman. Topik dan tema dapat menyangkut apa saja, seperti Kitab Suci, dogma, moral, ajaran Gereja, peribadatan dan praktiknya.
Khotbah dapat diberikan di mana saja, di tempat ibadat/liturgi dan dalam kerangka ibadat/liturgi atau di luar tempat ibadat/liturgi dan di luar kerangka ibadat/liturgi. Contoh khotbah adalah khotbah Petrus dalam Kisah para Rasul (bdk. Kis. 2:14-36; 3:12-26; 4:8-12) dan khotbah Paulus (bdk. Kis. 17:22-31).
Kotbah memiliki arti yang sedikit berbeda dengan homili. Dalam arti umum, homili berasal dari kata Yunani: 'homilia', yang berarti ”pembicaraan, percakapan”, 'discursus' (Latin), 'discourse' (Inggris).
Dalam kerangka ibadat atau liturgi, homili adalah penjelasan mengenai isi bacaan Kitab Suci yang dibacakan dalam ibadat/liturgi. Homili berorientasi dan berfokus pada Sabda Allah.
Secara teologis, homili lebih identik dengan kotbah yang dibawakan imam dalam suatu perayaan Ekaristi. Namun keduanya dapat berbeda penggunaannya.
Kotbah/Homili Panjang atau Pendek?
Perdebatan mengenai panjang atau pendek sebuah homili atau kotbah telah menjadi isu yang umumnya mengemuka di kalangan umat Katolik sejak dahulu kala.
Secara praktikal, panjang atau pendeknya homili/kotbah sangat tergantung pada pribadi imam yang membawakannya dan realitas sosial. umat.
Ada imam yang cenderung membawakan kotbah/homili dalam versi panjang. Namun ada juga yang suka membawakan homili secara singkat atau pendek.
Dalam hal realitas sosial umat, panjang atau pendeknya homili/kotbah tergantung dari situasi, lokasi atau kehidupan umat dimana homili itu dibawakan.
Gereja-gereja Katolik di daerah perkotaan umumnya telah memiliki semacam konsensus bahwa kotbah/homili tidak perlu terlalu panjang. Hal ini karena situasi umat yang sangat atensi soal waktu.
Dengan kata lain, umat di gereja-gereja perkotaan memiliki ritme dan tuntutan kegiatan dengan intensitas yang cukup tinggi.
Umat di daerah-daerah perkotaan biasanya menginginkan imam membawakan kotbah secara singkat namun bermakna bagi kehidupan mereka.
Hal ini berbeda dengan gereja-gereja di pedesaan. Mereka umumnya tidak mempermasalahkan panjang atau pendeknya kotbah seorang imam.
Yang mereka butuhkan adalah kotbah yang menarik dan menyentuh realitas kehidupan mereka yang sulit sehingga memiliki harapan akan penghiburan Tuhan.
Karena hidup di pedesaan, mereka bisa saja berlama-lama di gereja karena hampir tidak ada kegiatan lain yang penting yang membuat mereka seperti dikejar oleh waktu.
Terlepas dari dua kondisi khusus di atas, penentuan durasi panjang dan pendeknya kotbah atau homili sebenarnya sudah memiliki pola atau metode tertentu.
Karena kotbah atau homili merupakan sebuah bentuk pembicaraan di depan umum, banyak orang menyamakan durasi dengan durasi orasi atau pidato.
Secara akademis, pidato atau orasi yang baik berada di antara durasi 7-15 menit. Dalam garis waktu ini, umumnya pendengar akan lebih mudah menangkap isi pesan sehingga tidak lupa.
Hal ini ditegaskan oleh Paus Fransiskus dalam sebuah pesan pada 7 Februari 2018. Menurut dia, kotbah tidak boleh lebih dari 10 menit agar umat tidak bosan.
Demikian juga digariskan Romo Tom Jacbos, SJ, dosen Teologi Dogmatik dan Kontekstual Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Menurut dia, kotbah/homili tidak boleh lebih dari 10 menit.
Lamanya Waktu homili ini juga pernah disampaikan Pater (alm.) Dr. Henricus Dori Wuwur, SVD, dosen Homiletik, Retorika dan Metodologi pada STFK Ledalero, Maumere.
Menurut dia, durasi ideal kotbah berada pada interval waktu 7-15 menit. Dalam rentang waktu itu, umat akan lebih mudah menangkap isi homili/kotbah.
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa durasi kotbah/homili sangat tergantung pada kebiasaan imam, realitas sosial umat dan tuntutan budaya masa kini.*
COMMENTS