Kehadiran Romo Magnis Suseno sebagai saksi ahli kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD dalam sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 di MK tuai pro kontra.
![]() |
Romo Magnis, SJ. |
SIANAKAREN.COM -- Kehadiran Romo Magnis Suseno sebagai saksi ahli kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD dalam sidang lanjutan sengketa hasil pemilihan presiden (Pilpres) 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (2/4) lalu menuai pro-kontra yang luas.
Pro-kontra umumnya datang dari kalangan umat Katolik sendiri yang pada Pemilu 2024 lalu terbelah ke dalam dua kubu yang berseberangan: sebagian mendukung keberlanjutan rezim Joko Widodo melalui pasangan calon (paslon) Prabowo-Gibran, dan sisanya meneguhkan nilai-nilai katolisitas mereka melalui paslon 03, Ganjar-Mahfud MD, yang telah ditinggalkan Jokowi.
Eskalasi kontroversi mengenai kesaksian Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara tersebut didorong oleh digitalisasi informasi melalui media sosial.
Ramai percakapan mengenai sikap Romo Magnis yang dianggap tidak netral dan tendensius karena cenderung membela kubu Ganjar-Mahfud, yang tentu saja secara politik serentak bertentangan dengan Jokowi yang mendukung anaknya, Gibran, untuk meraup suara di Jawa Tengah.
Bagi kelompok pertama, kesaksian Romo Magnis terkesan menjelek-jelekkan Jokowi, presiden dua periode yang telah membantu masyarakat melalui program bansos dan pembangunan infrastruktur.
Mereka mempertanyakan panggilan Romo Magnis yang semestinya tidak berbicara mengenai politik. Dengan tegas mereka memisahkan antara apa yang disebut "urusan agama" dan "urusan politik". Terlibat dalam percakapan politik di forum nasional bukan hal yang keliru tetapi perlu dilihat kembali.
Sebaliknya, umat Katolik mayoritas lainnya, tak kalah juga dengan umat agama lain, yang mendukung sikap Romo Magnis sebagai jalan "kesaksian" mengenai kebenaran hidup berdemokrasi.
Barangkali "kebenaran" yang diwartakan Romo Magnis dalam kepakarannya sebagai ahli etika "ditertawakan" oleh kubu sebelah, tetapi kelompok ini meyakini bahwa hanya kebenaran yang mampu mengontrol sepak terjang dan jangkauan kekuasaan seorang pemimpin.
Kelompok yang kedua ini melihat Romo Magnis seperti seorang nabi yang berani memberikan kritik dan seruan profetik mengenai praktik ketidakadilan yang mendera negara dan rakyatnya.
Bagi mereka, panggilan menjadi seorang imam adalah sekaligus panggilan untuk terlibat dalam segala permasalahan sosial kemasyarakatan; menyuarakan penyimpangan-penyimpangan kekuasaan agar kembali ke jalan yang benar sebagaimana digarisbawahi Injil dan Ajaran Gereja.
Kelompok pro justru mempertanyakan sikap "apatis" dan "pembiaran" kelompok pertama yang ketika melihat Jokowi melakukan "kesalahan" justru tidak menegur atau mengeritik.
Mereka justru mempertegas kesaksian Romo Magnis dengan sikap Yesus ketika mengeritik pemimpin Israel pada masanya, terutama melalui pemuka agama dan orang Farisi disebutnya kaum munafik.
Akar Pro-Kontra Romo Magnis
Akar pro-kontra mengenai Romo Magnis bermula ketika imam Jesuit tersebut hadir sebagai saksi ahli di sidang sengketa Pemilu 2024, 2 April lalu.
Romo Magnis dihadirkan kubu Ganjar-Mahfud karena kepakarannya di bidang filsafat moral atau etika, isu yang sejak pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo menjadi ramai dibicarakan.
Dalam kesaksiannya, Romo Magnis membeberkan lima bentuk pelanggaran etika yang dilakukan rezim pemerintahan Jokowi pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Menurut Romo Magnis, pemerintahan Jokowi diduga kuat melakukan pelanggaran etika berat yang berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekosistem demokrasi Indonesia.
Adapun lima bentuk pelanggaran etika yang diduga dilakukan Jokowi dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pendaftaran Gibran sebagai Cawapres Prabowo
Romo Magnis menilai pendaftaran Gibran sebagai cawapres termasuk bentuk pelanggaran etika berat karena Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sendiri sudah menilai keputusan MK yang memungkinkan Gibran menjadi cawapres sebagai pelanggaran etika yang berat.
“Penetapan seseorang sebagai cawapres yang dimungkinkan secara hukum hanya dengan suatu pelanggaran etika berat juga merupakan pelanggaran etika berat,” katanya.
2. Keberpihakan Jokowi
Meski tidak terang-terangan, namun Romo Magnis menilai bahwa Jokowi sebagai Kepala Negara telah menunjukkan suatu preferensi politik ke salah satu paslon.
Bahkan, Jokowi terindikasi kuat ingin memenangkan salah satu paslon dari ketiga paslon yang berkompetisi dengan mengerahkan aparatus negara.
“Begitu dia memakai kedudukannya, kekuasaannya, untuk memberi petunjuk pada ASN, polisi, militer, dan lain-lain, untuk mendukung salah satu paslon serta memakai kas negara untuk membiayai perjalanan-perjalanan dalam rangka memberi dukungan kepada paslon itu, dia secara berat melanggar tuntutan etika,” tukasnya.
3. Praktek nepotisme
Menyambung poin kedua, Romo Magnis menilai bahwa kehadiran Gibran sebagai cawapres Prabowo cukup membuat pilihan politik Jokowi terbatas. Dia tidak lagi menjangkau semua kalangan paslon.
Jokowi, kata dia, diduga menggunakan kekuasaan untuk memberikan keuntungan kepada keluarganya. Ini membuktikan Presiden tidak memiliki wawasan sebagai Kepala Negara.
“Kalau seorang presiden memakai kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh bangsanya untuk menguntungkan keluarganya sendiri, itu amat memalukan,” kata Romo Magnis.
4. Pemberian Bansos di Jawa
Sebagaimana persoalan tersebut mengemuka pada waktu menjelang Pemilu 14 Februari lalu, Romo Magnis kembali mengungkit kegiatan pembagian bantuan sosial (bansos) yang dilakukan Jokowi selama beberapa pekan di Pulau Jawa.
Dia menegaskan bahwa bansos bukan milik presiden, melainkan milik bangsa Indonesia yang pembagiannya menjadi tanggung jawab kementerian yang bersangkutan sesuai mekanisme yang telah berlaku.
“Kalau presiden berdasarkan kekuasaannya begitu saja mengambil bansos untuk dibagi-bagi dalam rangka kampanye paslon yang mau dimenangkannya, maka itu mirip dengan seorang karyawan yang diam-diam mengambil uang tunai dari kas toko, jadi itu pencurian ya pelanggaran etika,” ucapnya.
5. Praktik manipulasi
Romo Magnis juga menyoroti gambaran umum Pemilu 2024 yang diwarnai dugaan manipulasi yang dilakukan rezim berkuasa melalui sejumlah alat negara.
Salah satu hal yang disoroti adalah terkait perhitungan suara yang dilakukan tidak dengan semestinya. Banyak kejanggalan dan kesalahan yang dilakukan sistem.
“Praktik semacam itu memungkinkan kecurangan terjadi yang sama dengan sabotase pemilihan rakyat. Jadi suatu pelanggaran etika yang berat,” pungkasnya.*
COMMENTS