Perolehan suara caleg DPD NTT terus kejar-kejaran hingga hari keenam rekapitulasi KPU. Dr. Stevi kokoh di puncak, Abraham Lyanto buntuti Hilda Manafe.
![]() |
Hilda Manafe, dr. Stevi dan Abraham Liyanto. |
SIANAKAREN.COM -- Perolehan suara caleg DPD dari Provinsi NTT terus kejar-kejaran hingga hari keenam proses rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Data publikasi KPU di situs resminya memperlihatkan keunggulan sementara caleg DPD NTT atas nama dr. Maria Stevi Harman.
Dokter muda dan cantik itu meraup suara dominan sebanyak 196.257 suara atau setara 15,37%. Sebagai pendatang baru, koleksi suara putri politikus Demokrat Benny Kabur Harman ini terbilang di luar prediksi karena dia berhasil mendongkel kemapanan para petahana yang tentu telah memiliki basis pemilih di bumi Flobamora sejak 2019.
Dokter asal Manggarai ini merebut pimpinan klasemen dari Hilda Manafe sejak 17 Februari lalu. Setelah terjadi kesalahan sistem, suara Hilda Manafe makin justru "nyungsep" dan berpotensi dikejar Abraham Liyanto, pemain lama di DPD NTT.
Hilda Manafe berada di posisi keempat dengan koleksi 123.292 suara, terpaut 10.00 suara dari El Asamau yang mengumpulkan 135.344 suara. El Asamau yang merupakan mantan ASN Pemkab Alor secara tak terduga berhasil nangkring di empat besar, sesuai slot kursi yang disediakan untuk DPD provinsi.
Belum diketahui siapa orang di belakang pemuda Alor berusia 36 tahun itu. Namun yang jelas, dia didukung oleh pemodal besar sehingga bisa masuk-keluar kampung di NTT selama masa kampanye sejak tahun lalu.
Di sisi lain, Angelo Wake Kako masih nyaman di posisi runner up dengan jarak suara yang lumayan besar untuk dikejar El Asamau. Mantan Ketua PMKRI itu kini meraup 179.326 suara.
Pergerakan tidak terduga pada suara petahana Abraham Liyanto. Politisi asal Kupang itu kini membuntuti Hilda Manafe dengan selisih suara sangat kecil.
Berpengalaman sebagai DPD sejak 2009, atau 15 tahun lalu, membuat langkah catur politikus 67 tahun itu tak terbaca. Kini politisi senior itu mengoleksi 121.120 suara.
Di tengah kondisi saling kejar suara, kini sistem perhitungan suara diterpa isu miring mengenai kesalahan aplikasi Sistem Rekapitulasi Suara Pemilu 2024 (Sirekap).
Aplikasi itu dinilai justru berpotensi merugikan banyak pihak. Tidak hanya caleg DPD, tetapi juga DPR, DPRD dan Capres.
Salah satunya dialami Ferdinandus Hasiman, caleg DPD NTT Nomor 6 yang suaranya turun drastis hingga 61.897 suara dalam dua hari terakhir (18-20 Februari).
Pada tanggal 18 Februari 2024 lalu, perolehan suara Ferdi Hasiman mencapai 125.980 atau 6,57%. Namun setelah diduga mengalami kesalahan (erorr), suara pengamat tambang dari Manggarai itu turun menjadi 64.083 suara (5,14%).
Kehilangan suara 61 ribu tersebut dianggap janggal karena sejatinya sistem aplikasi dibuat untuk memudahkan kerja manusia, bukan sebaliknya memperburuk sistem Pemilu. Apalagi Pemilu diadakan secara transparan dan demokratis yang memungkinkan masyarakat dapat secara langsung memonitor dan mengawal pergerakan suara para kontestan Pemilu.
Ferdi Hasiman menyoroti kontraksi perolehan suaranya yang sangat signifikan.
Dia menilai bahwa aplikasi Sirekap sudah dapat dipercaya lagi. Dia menduga ada permainan dalam sistem tersebut yang tidak hanya karena kesalahan sistem, melainkan juga oleh tangan-tangan yang tak kelihatan.
"Semakin kesini, kita semua dibuat semakin bingung. Bukan soal isu eror Sirekap saja. Tetapi juga beberapa kejanggalan dari informasi tersebut. Pasalnya, jika membaca grafik secara saksama, ada calon tertentu yang bisa dikatakan tidak terjangkau dampak eror Sirekap. Apakah ini kecurangan terorganisir? Tentu kita tidak boleh fitnah," katanya dikutip dari Fanpage, Selasa (20/2).
Ferdi yang merupakan wajah baru dalam perpolitikan NTT ini meminta masyarakat dan pendukungnya bersabar sambil terus mengawal suara di masing-masing karena itulah data yang absah secara konstitusi.
Dia menyesalkan aplikasi Sirekap milik KPU yang justru berpotensi merugikan banyak pihak. Tidak hanya caleg DPD, tetapi juga DPR, DPRD dan Capres.
"Kepercayaan masyarakat dipertaruhkan dibalik banyak kejanggalan dan kesalahan dalam perhitungan suara melalui aplikasi ini. Meski begitu, kita tidak akan menyerah. Doakan teman-teman kita yang sedang bertempur melawan lelah saat ini. Bukan semata menginput data perolehan suara berdasarkan C1 dari setiap TPS. Tetapi juga berperang melawan aplikasi yang berpotensi merugikan banyak pihak," pungkasnya.
Adapun, Sirekap pertama kali dikenalkan dan digunakan pada Pilkada 2020 lalu untuk menggantikan Sistem Informasi Penghitungan (Situng) yang sebelumnya digunakan pada Pemilu 2019.
Pada Pemilu 2024, ada dua jenis Sirekap yang digunakan, yakni Sirekap Mobile dan Sirekap Web. Sirekap dilengkapi dengan teknologi pengenalan tanda optis (optical mark recognition/OMR) dan pengenalan karakter optis (optical character recognition/OCR).
Sirekap tidak menjadi penentu hasil rekapitulasi perolehan suara, hasil pemilu resmi tetap didasarkan pada rekapitulasi manual berjenjang yang dilakukan dari TPS, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga rekapitulasi nasional di KPU RI.
Memang, aplikasi ini semakin disoroti banyak pihak karena diduga berpotensi merugikan para kontestan yang berkompetisi.
Berdasarkan analisis Drone Emprit, aplikasi Sirekap mendapat sentimen yang mayoritas negatif di media sosial, dari total 3.105 percakapan terkait Sirekap di platform Twitter, pada 8-9 Februari 2024, terdapat 78 persen sentimen negatif.*
COMMENTS