Cerpen "Inang Jose" berkisah tentang kesetian, ketekunan dan keuletan seorang janda di Maumere.
![]() |
Penyanyi Andien dalam kunjungan ke Maumere (2018). Foto: @andienaisyah |
Mentari pagi baru beranjak hingga membentuk sudut 45 derajat. Belum terlalu dianggap terik. Apalagi hujan baru saja reda. Ada sebuah bunga rambat yang biasanya mekar pada jam-jam itu. Pukul Sembilan nama bunga itu. Jika ia mekar, pasti taman sesaat tampak indah berseri. Warnanya yang sangat menonjol seperti warna “kancing uskup”, membuat hari dimulai begitu damai.
Kulihat seorang perempuan paruh baya sedang mematahkan tungkai jagung di kebun pinggir jalan. Umurnya dipastikan mendekati 50-an. Meski begitu, raut wajahnya tidak berkerut. Ia bahagia.
Jalan itu sebelumnya sepi, tapi dalam dua tahun terakhir, tampak ramai dan hilir mudik. Motor dan mobil meraung-raung sengaja melewati jalur “klausura” itu. Sebaiknya ada “polisi tidur” membentang beberapa meter jauhnya agar “suasana doa” para biarawan terjaga.
Bagi perempuan itu, raungan dan asap knalpot kendaraan sudah menjadi “makanan” hariannya. Dia tahu risiko bagaimana berkebun di kota.
Bila tengah hari dan terik makin terasa, ia akan meringkas pekerjaannya. Hujan separuh turun karena sudah berada di penghujung musim hujan.
Sebenarnya ia sedang menuai hasil panen andalannya. Kebun berukuran sekitar 20x25 meter itu bisa menghasilkan kurang lebih sepuluh karung jagung dalam sekali panen. Itu cukup untuk menghidupkan dia dan anaknya beberapa bulan.
Di kebun yang sama, ia juga menanam kacang hijau. Dengan itu, asupan kebutuhan hariannya bisa dipenuhi.
Putra bungsu adalah satu-satunya anak yang tinggal bersamanya. Kedua anak yang lain tidak bersamanya. Yang satu tinggal di Bali bersama suaminya, dan yang lain tinggal di kampung halamannya.
Sebenarnya rumah yang ditinggali mereka sekarang adalah pondok, di mana dulu mereka biasa berkebun. Tapi karena perkembangan kota, mereka memilih tinggal di kota saja, sedang anggota keluarga mereka yang lain di kampung.
Suaminya meninggal beberapa tahun lalu, ketika ia melahirkan anaknya. Sejak saat itu, beban keluarga diusahakannya dengan tangannya. Kelihatan sekali urat-urat nadi mencuat dari jemarinya. Tangannya terlatih untuk hidup keras.
“Nong! Ada mau kemana?” ia menegurku dengan pertanyaan.
“Saya mau ke kios Inang,” jawabku.
“Owhh… mau beli apa Nong?” dia bertanya lagi.
“Ini mau beli sabun dan rinso Inang,” balasku.
Dalam bahasa Sikka, Inang adalah sapaan terhormat kepada perempuan yang sudah paruh baya ke atas. Sapaan itu sekaligus mewakili nama anonim dari orang yang disapa.
Benar bahwa meski sudah hampir tiga bulan, aku belum tahu namanya. Tapi aku dengar dari cerita beberapa Saudara, bahwa ada seorang perempuan di kompleks yang sangat baik hati. Dari merekalah aku tahu namanya, Inang Jose.
Perjumpaan pagi itu menjadi semacam “perkenalan” tak terduga. Panggilan Inang seolah meluncur begitu saja dari mulutku. Meski aku adalah orang baru, tapi caranya menyapa sangat familiar.
Itu yang membuat batinku bertanya, mengapa orang yang sederhana ini begitu sukacita, tapi orang-orang kaya di sana itu mukanya cemberut tiap hari?
Sepulang dari kios, Inang tidak lagi terlihat. Tapi tongkol-tongkol jagung bergeletak rapi di antara baris kacang hijau.
Benar kata orang: lebih baik anak-anak ditinggal sama ayah daripada oleh ibu mereka. Karena tanpa ibu, dapur tidak akan berasap, tapi tanpa ayah, ibu masih bisa bekerja.
Sore hari Inang biasanya menenun. Pekerjaan itu sudah digelutinya sejak masih gadis. Sebagaimana tradisi yang hidup dalam masyarakat bahwa seorang gadis harus bisa menenun sebelum bersuami.
Karena suami mereka akan melihat, apakah mereka bisa mengurus rumah tangga atau tidak, dari kemampuan menenun. Budaya itu tetap dipeliharanya, bahkan menjadi sumber penghasilan ketika suaminya meninggal.
Bunyi detakan tenunan hampir hanya terdengar dari rumahnya karena orang-orang sekitar praktis sudah meninggalkan warisan itu. Dalam sebulan ia bisa menghasilkan satu sampai dua lembar kain. Kain itu kemudian dijual dengan harga antara 400–500 ribu rupiah.
Selain berbentuk kain sarung, ia juga menenun selendang. Tidak jarang para imam baru memesan selendang darinya untuk dibuatkan stola dengan bervariasi motif.
Di bawah tudung saji di meja makan selalu ada sepiring ubi rebus atau talas rebus dengan lombok ulek yang pedas. Siapa saja yang bertamu ke rumahnya akan disuguhkan sekedar “alas perut”. Ubi-ubian itu diambilnya dari kampung atau dibawa oleh saudaranya.
Tidak seperti rumah tangga lain yang semua kebutuhan dibeli, Inang justru mengandalkan panenan dari kampungnya. Anaknya yang menetap di kampung itulah yang selalu memenuhi kebutuhan sayur-mayur dan umbi-umbian.
Saban hari, ia kelihatan frustrasi. Dengan suara keras ia bercerita tentang sesuatu yang tidak pernah diduganya. Aneh tapi menarik. Nadanya tinggi.
“Kemarin tu ada satu perempuan yang lari ikut dengan Nandus (anak bungsunya). Tidak tahu bagaimana, tiba-tiba dia lari ikut. Waktu saya tanya Nandus, dia bilang mereka kenal lewat hape saja. Lalu waktu saya tanya itu perempuan, dia bilang dia lari ikut Nandus karena rasa cocok dengan Nandus. Saya usir itu perempuan. Masa Nandus masih kecil begini sudah lari ikut. Saya bilang dia harus kembali ke rumah orangtuanya. Siapa juga yang mau pelihara. Kita tidak ada apa-apa begini,” ungkapnya dengan dialek Sikka yang kental.
“Hahaaaa… Iya ka Inang? Tapi kalo memang mereka cocok, bisa saja Inang,” kataku sambil tertawa ketus.
“Tidak bisa. Nanti itu perempuan mau makan apa. Makan itu cinta?” nadanya meninggi.
Aku tak mau lagi bersoal jawab. Berdiam diri adalah disposisi yang pas untuk mendengarkan keluhannya. Semuanya kusimpan dalam hati. Sekilas kutatap Nandus yang bersandar di balik pintu dapur.
“Padahal saya tidak janji apa-apa dengan itu Nona. Dia yang lari dari rumah lalu mau kesini karena takut keluarganya,” cerita Nandus seolah mengerti maksud tatapanku.
Dalam hati aku berpikir, mungkin ini karena zamannya generasi digital. Dengan mudah orang lari ikut meski baru saja kenal.
Anehnya lagi, perkenalan itu terjadi di dunia maya. Lalu apakah mereka bisa mengerti realitas yang sebenarnya.
Inang kembali bersimpuh untuk memulai lagi tenunannya. Dengan teh hangat di tangan aku duduk dan mendekatinya.
“Inang, kenapa Inang tidak pernah rasa capek? Saya kasihan sekali dengan Inang.”
Inang menitikkan air mata. Aku terharu. Perlahan ia mengungkapkan alasan yang tak pernah kuduga.
“Kalau capek siapa yang kasih makan kami. Saya bekerja sebagai bukti cinta dan kesetiaan saya kepada suami untuk menghidupkan anak-anak. Makanya sampai sekarang saya sendiri bekerja,” ungkapnya.*
COMMENTS