Refleksi tentang hubungan antara siswa, guru dan orangtua yang bagaikan tiga tungku dapur; saling menopang dan tak saling lepas.
![]() |
Ilustrasi hubungan siswa, guru dan orangtua. Foto: ef.co.id. |
Sapaan Awal
Salah satu pertanyaan terpenting dalam rentetan peradaban sejarah adalah tentang apa dan siapa itu manusia. Di dalam pertanyaan paling dasariah itu terkandung satu pesan inti nan istimewa dan khas untuk manusia: bagaimana memanusiakan manusia itu; bagaimana memanusiakan lagi satu entitas yang sudah nyata adalah manusia.Apa maksud dari pertanyaan ini. Kita tahu manusia adalah “makhluk (binatang) yang berakal budi”. Dengan akal budinya manusia bisa mengetahui melakukan, dan mengharapkan apa saja. Tetapi itu tidak cukup.
Selalu saja ada “ruang kosong” di dalam diri manusia yang senantiasa menantikan sewaktu-waktu untuk diisi oleh sesuatu. Itulah kerinduan paling mendasar dari pribadi manusia. Sebab manusia tidak cukup untuk hidup dengan akal budinya. Ada aspek lain yang mesti menyeimbangi kapasitas akal budinya. Itulah Allah.
Beberapa pemikir klasik seperti Plato/Aristoteles mengatakan bahwa dengan kemampuan akal budinya manusia bisa mencapai tahap kontemplasi (con+templum), satu tahap di mana manusia hidup dan berada dalam kebenaran ilahi; hidup seturut cinta Allah.
Pernyataan para pemikir ini tidak bermaksud bahwa dengan kemampuan akal budinya, manusia bisa menyamai Allah (ini akar dari dosa = kesombongan), melainkan lebih berarti bahwa dengan akal budinya manusia menjadi sangat manusiawi, yang mengembangkan aspek-aspek manusiawinya secara menyeluruh dan integratif, bahkan kita bisa memadang yang Ilahi, yaitu Allah, dan hidup menurut perintah-perintah-Nya.
Lantas, kita bertanya: bagaimana manusia bisa mencapai taraf kesadaran seperti ini? Apa yang membuat manusia semakin manusiawi? Satu-satunya kemungkinan jawaban yang bisa kita berikan saat ini, yaitu melalui proses pendidikan (education = educare ).
Tapi, mengapa harus pendidikan?
Saya katakan, pendidikan adalah sebuah proses tanpa akhir, tanpa batas. Pendidikan melampaui batas ruang dan waktu, usia, kedudukan, dst. Sebab pengertian kita tentang pendidikan sangat luas dan kompleks. Pendidikan tidak sekedar pelajaran di lingkungan sekolah, kursus-kursus, pelatihan-pelatihan, dll, tetapi pendidikan adalah hidup itu sendiri.Sepanjang kita masih hidup, proses pendidikan terus berlangsung (long life education). Seorang nenek/kakek yang sudah amat tua-renta pun sedang berada dalam proses pendidikan: bagaimana mereka belajar untuk seperti anak kecil lagi (antiklimaks).
Jadi pendidikan sebagai satu proses tanpa awal yang jelas dan akhir yang pasti, menjadi mahapenting (urgen) agar kita bisa mencapai taraf kesadaran yang semakin manusiawi: hidup seturut kapasitas akal budi kita sebagai manusia. Sebab orang yang hidup tidak sesuai dengan kapasitas manusiawinya mesti kita golongkan ke dalam kelompok binatang (binatang kalau kawin babat saja--mungkin ini ungkapan yg pas).
Seorang pribadi manusia, entah itu tidak sekolah atau pun seperti kita yang bersekolah ini, sepanjang hidupnya tidak pernah lepas dari proses pendidikan: di dalamnya terbentang pengajaran tentang kompleksitas nilai dan arti kehidupan (ada sedimentasi+inovasi).
Lantaran sebagai sebuah proses tanpa akhir, dalam konteks pendidikan formal (sekolah), kita kenal adanya elemen-elemen pendukung yang memungkinkan proses pendidikan itu bisa berjalan langgeng. Mereka adalah murid, guru dan orangtua.
Ketiga-tiganya saling mempengaruhi, melengkapi, dan saling mengandaikan. Yang satu tidak bisa eksis tanpa adanya yang lain. Ketiganya berada bersama, ada relasi timbal-balik yang seimbang.
Namun dalam refleksi kali ini, saya mengajak kita sekalian untuk memposisikan diri sebagai murid, salah satu elemen pendidikan yang paling sentral, sehingga refleksi kita mengarah kepada penemuan diri: “Aku sebagai titik pusat dari proses pendidikan, sebab akulah yang menentukan siapa diriku dan bagaimana diriku yang sesungguhnya (jati diri), kini dan nanti.
Kita tamat dari sekolah (SMA) bukan berarti kita sudah menyamai sang guru, tetapi kita sedang berusaha untuk menyamakan diri sebagai seorang guru, dan bahkan kita telah menjadi“guru-guru”kecil yang bisa mengajar kepada orang lain tentang arti dan nilai dari sebuah kehidupan.
Sebelum melangkah lebih jauh refleksi kita, saya mengajak Anda untuk bertanya sejenak: siapa itu Aku, siapa itu guruku dan siapa itu orangtuaku? Hampir semua kita tahu siapa mereka dengan pasti. Atau ada yang tidak tahu? Jika ada maka keberadaan mereka saat ini perlu dipertanyakan ulang.
Sebaiknya sebuah batu diikat pada leher mereka lalu kita buang ke laut (kata Yesus); mereka tidak layak hidup. Dalam permenungan kali ini saya ingin menarik Anda kepada suatu titik refleksi yang lebih mendalam untuk mengenal Siapa itu Aku, Siapa Guruku, dan Siapa itu Orangtuaku dan
Bagaimana Ketiganya Berkorelasi sebagai Tiga Tungku Pendidikan untuk membentuk dan menghasilkan pribadi AKU yang integral dan berkualitas; untuk mencetak seorang pribadi manusia atau orang beriman yang khas manusiawi.
Siapa Aku
Dalam filsafat, jawaban atas pertanyaan tentang “Siapakah Aku”: “Aku adalah, ya, Aku (bdk. Kel 3:14). Tidak ada yang perlu kuketahui selain tentang Aku itu sendiri (orangtuaku, guruku, bukuku, pacarku, dst.).Kalaupun ada yang menyangkal adanya Aku, Aku tetap ada, yaitu Aku yang menyangkal”. Jadi Aku mesti ada. Karena adanya yang lain ditentukan oleh Aku, dan tanpa aku, niscaya tidak ada yang lain.
Yang lain ada, mesti ada aku, sehingga aku dan yang lain sama-sama saling memberi arti, saling menentukan dan saling bergantung. Karena relasi yang demikian, aku menyadari bahwa aku adalah satu substansi dan subjek yang terbatas, yang tetap membutuhkan yang lain untuk mengafirmasi sekaligus membedakan Siapakah Aku (bdk. Mat 16:15; Luk 9:20).
Aku ada serentak mengandaikan adanya yang lain. Tanpa Aku yang lain tak bernilai; sebaliknya, tanpa yang lain Aku tak berarti. OKI, kita harus mengenal AKU.
Mengenal Diriku-AKU
Setiap kita sejak dari lahir pasti telah diberi sebuah nama. Setiap kita punya kartu identitas yang membuat orang dapat mengenali kita secara cepat.Namun setiap kita mungkin masih selalu bertanya-tanya siapa sebenarnya diriku? Pencarian akan jati diri memang setua usia manusia itu sendiri. Mengapa orang merasa begitu penting untuk mengetahui jati dirinya? Pencarian akan jati diri membuat seseorang akan lebih “tahu diri”. Terutama dalam mengembangkan potensi diri (kelebihan dan kekurangan) dan berelasi dengan orang lain.
Sejak semula, orang-orang Yunani dan Romawi berseru: “Cognesce te Ipsum! “Kenalilah dirimu sendiri!”(kuil Delfi ).
Thomas a Kempis, seorang rahib abad pertengahan, penulis Imitation of Christ (Mengikuti Jejak Kristus) juga mengatakan, ”Pengenalan yang sekedarnya atas dirimu itu lebih meyakinkan ketimbang penggalian yang mendalam atas sebuah pengajaran.”
Kedua kutipan ini jelas memperlihatkan secara kasat mata apa makna dari sebuah pengenalan akan diri sendiri. Sulit memang mengenal diri karena memang diri kita adalah sebuah entitas yang tak terbatas. Sepanjang usia manusia, ia tak pernah bisa menggapai pengenalan akan dirinya secara tuntas dan mendalam. Ia terus mencari, mencari dan terus mencari.
Untuk memulai menjawab pertanyaan “Siapakah Aku”, terlebih dahulu kita harus mengupas selubung self image atau citra diri yang telah kita bangun selama ini yang turut mempengaruhi kita dalam mengembangkan diri dan berelasi dengan orang lain.
Citra diri atau self image adalah gambaran tertentu mengenai diri seseorang, status sosialnya, kelebihan dan kekurangannya. Gambaran inilah yang memiliki kontribusi terbesar dalam pengembangan diri dan membangun pola hubungan antar manusia.
Citra diri akan menentukan persepsi dan ekspresi seseorang. Citra diri sebagai seorang yang lemah akan muncul tatkala sedang berkomunikasi, biasanya orang yang lemah ini sulit berbicara bebas, sulit menyatakan isi hatinya dan pikirannya.
Citra diri sebagai seorang penguasa, seorang komandan, atau direktur akan nampak ketika berkomunikasi dengan bawahannya. Begitu juga citra diri sebagai seorang yang pemalu, pemalas, penakut, serba bisa, super pintar, dll, akan menentukan cara kita membawa diri dan berelasi dengan orang lain.
Menerima Diri
Kita mengira kita telah banyak mengenal diri, tetapi sebagai orang yang terus ingin mencari tahu, sikap terbuka dalam mempelajari hal-hal baru sangat perlu terutama dalam mengenal diri.Seperti umumnya hal yang baru, kita harus mengambil langkah pertama lebih dulu, menerima kemampuan-kemampuan dan kelemahan kita yang sejati. Meskipun kita tidak pernah menyadari memiliki kekuatan-kekuatan dan kelemahan itu, terimalah bahwa kita memang memilikinya.
Apapun baiknya seseorang pasti ia menyimpan satu atau dua kejelekan dalam dirinya; betapa berhasil dan hebat seseorang, di sisi lain, ia tetaplah makhluk yang rapuh.
Ada satu menarik tentang hal ini. Dikatakan bahwa ada seorang dosen yang amat jenius-pintar, hebat dan diapresiasi banyak orang, tetapi apa yang terjadi dengan kehidupan pribadinya. Tidak seperti kebanyakan orang selevel dia, bahwa dengan status demikian ia bisa memiliki segala hal dalam hidupnya.
Namun sial, ia hanya memiliki seorang istri yang tamat SD dan jelek. Banyak orang mencibirnya. Tahu to orang-orang kita. Dengan cerita ini mau mengatakan bahwa betapapun hebatnya seseorang, pasti ada satu titik hitam dari dirinya (filsafat China: Ying-Yang).
Setelah seseorang mengenal dirinya, gambaran dirinya, ia mesti menerima siapa dirinya itu. Kalau memang saya jelek, ya, terima saja; kalau cantik/ganteng pun sama.
Jangan kita menetapkan satu standar tentang gambaran diri yang terlalu ideal/tinggi, terlalu muluk. Sebagai seorang anak perempuan/laki-laki yang ganteng/cantiki biasanya kalau mau pacaran pasang standar: ini tidak cocoklah, itu cocoklah, dsb. Akibatnya, kita menjadi sulit untuk menerima diri kita dan orang lain apa adanya.
Ada saja teman-teman kita tidak mau memang kalau salah satu mata pelajaran di-remedial/her. Apapun caranya mereka berusaha agar “lolos”. Padahal, memang dasar ia bodoh/malas belajar.
Pernah suatu kali ketika masih berada di tingkat I semester II, saya mendapatkan her salah satu mata kuliah. Itu terjadi pertama kali dalam sejarah saya. Tapi apa reaksi saya, saya tetap menerimanya dan tidak menganggap itu sebagai satu kesalahan yang amat fatal; itu biasa terjadi pada siapapun dan saya harus menerimanya.
Masih banyak contoh/kasus di mana kita melihat orang-orang tidak menerima dirinya atau kondisi hidupnya, yang akhirnya memilih bunuh diri sebagai solusi terakhir (Maumere banyak). Penerimaan diri adalah titik puncak dari pengenalan siapakah diriku yang sesungguhnya.
Aku dan Guruku
Ketika kota Hirhosima dan Nagasika, Jepang, dihancurkan oleh Amerika melalui sebuah bom atom mahadashyat pada tahun (6/8)1945, yang sekaligus menandakan kekalahan Jepang dalam perang dunia II (di Indonesia: vacum of power), apa yang dibuat oleh pemimpin (kaisar Hirohito) negeri Sakura itu.Dia bertanya kepada rakyatnya: “Berapa sisa para guru yang masih hidup?” Pertanyaan ini secara tidak langsung mau mengantar kita kepada refleksi tentang siapa itu guru bagi kita sebagai murid. Sang kaisar tidak menanyakan tentang berapa tentara yang mati, atau berapa gedung mewah yang hancur, atau berapa orang kaya dan sukses yang masih hidup.
Ia bertanya tentang berapa sisa para guru yang hidup. Kelihatan amat sederhana, tetapi sebenarnya pertanyaan ini mengandung satu apresiasi dan penghargaan yang mahabesar dari seorang pemimpin negara terhadap sosok seorang guru.
Dia yakin, untuk membangun kembali Jepang yang hancur berantakan, tidak membutuhkan orang-orang kaya, atau tentara yang hebat.
Untuk membangun sebuah negara (Jepang) yang besar, pertama-tama, ia harus memiliki para guru yang siap untuk mengajar, mendidik, dan melatih anak-anak di negerinya agar kelak bisa menjadi orang-orang hebat, yang dengan kemampuan mereka, keberadaan negaranya menjadi kuat dan tangguh, dan bahkan bisa mencetak lebih banyak lagi orang-orang hebat yang mempunyai daya saing lebih dari Amerika Serikat.
Kita lihat sekarang, Jepang, dalam kurun waktu setua kemerdekaan Indonesia (70 tahun), telah bertumbuh menjadi sebuah industri terbesar di Asia selain China dan Korea Selatan. Bahkan, di mata dunia, Jepang merupakan negara adikuat setelah Amerika dan Rusia. Perkembangan negara Jepang hampir beberapa persen lebih cepat dan pesat dari Indonesia.
Ini semua berkat adanya seorang guru, yang tentunya memiliki kualitas sebagai pendidik dan pengajar yang baik. Sebab jika sang guru buta maka murid pun menjadi buta (Luk 6:39). Dari tangan merekalah, terlahir putra-putra bangsa yang berkualitas, berkarakter dan berkepribadian.
Di dalam tangan dingin seorang guru, seorang anak, yang pada mulanya adalah selembar “kertas kosong” (John Locke: tabula rasa), diajar, dibimbing dan diarahkan untuk bertumbuh menjadi pribadi yang memiliki kapasitas intelektual yang bagus, serta mempunyai mental dan karakter kepribadian yang matang: aspek kognitif, motorik dan psikomotorik (di rumah terkadang orangtua selalu kekurangan waktu untuk mereka).
Kita masih ingat bagaimana mereka mengajarkan kita membaca, menulis, menghitung atau menggambar. Tangan kita yang masih kaku, otak kita yang masih beku dan lidah yang gagap dibuat sekian oleh mereka, sehingga menghasilkan pribadi kita seperti sekarang ini. Dengan mereka kita belajar menapaki tangga kehidupan.
Saya teringat kisah masa kecil saya di kampung ketika masuk SD kelas I. Entah kenapa suatu hari saya diusir dari sekolah. Alasannya, saya harus menulis menggunakan tangan kanan. Karena terlahir dengan kebiasaan tangan kiri, saya terpaksa meninggalkan sekolah selama 2 tahun hingga pada umur 8 tahun baru masuk lagi sekolah.
Di luar saya selalu melatih untuk menulis dengan tangan kanan. Hasilnya sangat maksimal, hingga sekarang saya menulis dengan tangan kanan, walaupun dalam hal lain kebanyakan tetap menggunakan tangan kiri.
Dari kejadian ini saya melihat bahwa bukan berarti sang guru mewajibkan saya untuk menulis pakai tangan kanan, tetapi karena ia punya satu intuisi tertentu, sehingga sekarang saya merasa sangat enjoy dengan diri saya karena bisa memakai kedua tangan dengan kapasitas yang sama.
Menurut seorang teman lulusan psikologi, kedua otak kita akan bekerja seimbang jika kiri dan kanan. Inilah nilai dari pengusiran sang guru yang baru saya rasakan saat ini.
Lantas, sebagai murid, apa yang mesti kita buat ketika di hadapan kita dideretkan kebajikan, kebaikan dan kepahlawanan sang guru? Kita tidak bisa menyamai mereka saat ini sebab kita mesti belajar banyak hal dari mereka; ada banyak hal yang mesti kita lakukan, salah satunya adalah belajar dari teladan mereka.
Setelah tamat dari sebuah tahap proses belajar baru kita cukup menyamai mereka, namun kita tidak pernah lebih dari mereka (Luk 6:40; Mat 10:24-25). Begitulah hukum alamnya.
Ada sebuah kisah kecil dari seorang Romo pembimbing retret. Beberapa tahun yang lalu, dia pernah diminta untuk memberi retret para guru dan karyawan-karyawati SMA St. Paulus, Jember, Jawa Timur.
Dalam retret tersebut, ada kesempatan bagi mereka untuk membagikan pengalaman mereka, khususnya berkaitan dengan pengalaman iman dan hidup doa. Ada sebuah sharing pengalaman yang menarik dari seorang guru. Ia membagikan pengalamannya bagaimana mengajar murid-muridnya, bukan hanya mengandalkan kekuatannya sendiri, melainkan juga melibatkan Tuhan di dalamnya.
Di dalam kelas, ia justru lebih memerhatikan siswa atau siswi yang kurang mampu di dalam menangkap pelajarannya. Biasanya setelah memberikan penjelasan, ia akan bertanya kepada mereka, apakah sudah memahami pelajarannya. Jika mereka belum memahaminya, ia berusaha untuk menjelaskan sekali lagi.
Setelah itu ia akan bertanya lagi. Kalau masih belum mengerti juga, ia akan menjelaskan sekali lagi dengan lebih perlahan-lahan. Lalu ia akan bertanya sekali lagi. Kalau mereka menjawab bahwa mereka belum mengerti juga, sadarlah ia bahwa dengan kekuatannya sendiri ia tidak mampu.
Ia pun berdoa dan mohon kekuatan Tuhan untuk membantunya dalam menjelaskan pelajaran itu sekali lagi kepada siswa-siswinya.
Dan hasilnya memang mengagumkan. Siswa-siswi yang sulit mengerti pelajarannya, kemudian bisa memahaminya. Dia menjadi salah satu guru yang disukai, guru favorit di sekolah tersebut. Guru itu mampu membuat semua muridnya memahami pelajarannya, bukan lagi mengandalkan kekuatannya sendiri, melainkan menyerahkan segalanya kepada kekuatan kasih Tuhan.
Guru ini telah hidup dalam cinta. Ia telah menyerahkan diri kepada Tuhan untuk memberikan diri secara total kepada sesamanya. Ia sadar apa yang dibagikan kepada para muridnya bukan sekedar ilmu, tetapi lebih dari itu bagaimana ia berusaha agar muridnya bisa paham dan akhirnya menerapkan ilmu itu dalam hidupnya.
Kita coba kembali lagi ke persoalan utama: yaitu klaim kita sebagai (AKU) seorang “murid”, apakah kita pernah memahami secara mendalam apa dan siapa itu murid? Seperti status dan pilihan hidup yang lain, menjadi murid adalah sebuah panggilan. Mengapa? Sebagai orang Kristen, kita tentu dipanggil menjadi murid Kristus. Status kemuridan kita melekat erat dengan iman kita sebagai orang Kristen.
Selamanya kita tetaplah murid Kristus. Lalu dalam sebuah proses belajar, apakah kita tetap seorang murid dan tidak pernah berubah status? Jawabannya: tentu Ya! Mengapa? Karena walaupun nanti kita menjadi guru atau Bupati atau jabatan elit lainnya, kita tetaplah mantan murid dari seorang guru kita dulu. Status murid kita tidak berubah. Jadi kita jangan terlalu sok dan bangga dengan predikat kita nanti ya.
Dalam tradisi kekristenan, kata murid sendiri merupakan terjemahan dari dua kata Yunani: mathetes: “seorang yang belajar” dan akolouthein: “mengikuti/menyusul”.
Seorang murid Kristus adalah orang yang mau belajar tentang kebijaksanaan dari Kristus sendiri, serentak dengannya ia mau mengikuti apa yang diajarkan, diperintahkan dan dilakukan oleh Sang Guru Kebenaran itu.
Selayaknya seorang murid Kristus, yang selalu mendengarkan dan berjumpa dengan Sang Guru untuk menimba kekuatan dan kebijaksanaan dalam menjalani kehidupannya, seorang murid sekolah yang sedang berproses, mesti belajar untuk menimba pengetahuan seluas-luasnya dari sang guru dan nilai-nilai kehidupan sedalam-dalamnya, sekaligus meneladani kepribadian dan karakter positif dari seorang guru.
Menjadi seorang murid bukan sekedar menuntut ilmu pengetah uan dari sebuah proses belajar, tetapi seperti arti kata alokouthein = mengikuti, seorang murid mempunyai relasi yang khas dengan gurunya.
Paling kurang ada tiga hal yang tampak dari relasi tersebut: pertama, mencontohi teladan guru. Seorang guru (Yesus) adalah model atau figur yang mesti ditiru oleh seorang murid (bdk. Yoh 13:13-15).
Kedua, mengambil bagian dalam nasib sang guru. Setiap orang yang menjadi murid mesti mengikuti dan membaktikan dirinya bagi sang guru, bahkan rela untuk mati demi gurunya (Yoh 11:16).
Ketiga, memiliki hidup sang guru di dalam dirinya. Ini berarti bahwa hidup seorang murid mesti diilhami oleh teladan hidup sang guru (dalam hal positif); hidupya sepenuhnya diinspirasi oleh hidup sang guru sendiri.
Memang sekarang ini banyak guru yang menyimpang dari profesionalisme keguruannya, tetapi itu hanya merupakan pembiasan dari ego dirinya. Spiritualitas keguruan, itulah yang mesti kita teladani.
Pada akhirnya, figur seorang guru adalah seperti “kompas” yang menunjuk ke mana seorang murid mesti berlayar. Tidak ada guru di dunia ini yang menggiring muridnya ke jurang kehancuran. Tetapi sang guru akan selalu mendorong dan memotivasi muridnya dengan caranya sendiri agar bisa menggapai langit impian dan cita-citanya.
Betapapun kelemahannya sebagai manusia, sang guru tidak pernah memberi batu ketika muridnya minta roti, atau memberi ular ketika diminta ikan (bdk. Mat 7:10). Spirit kemuridan adalah spirit seorang “hamba” = berbakti kepada tuannya. Begitupun seorang murid sekolahan, ia mesti berbakti kepada gurunya.
Pengabdian itu terungkap dalam ketaataan terhadap aturan dan ketentuan sekolah, mengerjakan tugas, tidak bolos, atau merokok dan narkoba, dsb. Sebab menjadi murid yang baik memungkinkan seorang guru bisa menjalankan tugasnya dengan baik pula. Keduanya mempunyai korelasi yang saling mengandaikan.
Aku dan Orangtuaku
Ketika saya menyatakan sebagai seorang “anak”, serentak pada saat yang sama, saya mengakui adanya orangtua: anak tidak pernah ada tanpa orangtua. Fokus permenungan kita hari ini adalah ORANGTUA.Orang yang paling dekat dengan kita. Sudah begitu banyak cinta yang kita terima dari mereka baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan. Cinta mereka kepada kita lebih kuat dari apapun.
Cinta mereka tidak kasat mata–tidak dapat diukur – tetapi cukup kuat untuk mengubah anda dalam sekejap dan menawarkan kepada anda lebih banyak kebahagiaan daripada benda apapun yang mungkin dapat anda miliki. Sebelum kita melanjutkan permenungan mari kita dengar yang satu ini.
Adik-adik sekalian,
Apakah bapa dan mama pernah menceritakan kepada Anda kapan mereka saling jatuh cinta? Jatuh cinta itu mungkin gampang. Adik-adik tentu juga sudah mulai mengalami bagaimana payahnya untuk mempertahankan seorang kekasih, supaya hubungan cinta itu tetap lestari. Ingat, itu juga telah dialami lebih dulu oleh bapa dan mama.
Bisa saja bapa atau mama waktu itu direbut oleh wanita atau pria yang lain. Dan kalau itu terjadi, kita bakal tidak lahir ke bumi ini.
Syukur, akhirnya bapa dan mama jadi menikah. Pada saat-saat yang paling bahagia, bapa dan mama saling memberikan dirinya seutuhnya, jiwa dan raga, mereka “bersatu tubuh”, dan sejak saat itulah sejarah hidup kita dimulai dari sebuah embrio.
Bapa dan mama bisa saja tidak menghendaki kita, dan mereka dapat saja mamakai salah satu alat kontrasepsi, sehingga kita tidak akan pernah muncul di bumi ini. Tetapi tidak, bapa dan mama menghendaki kita. Kita akhirnya bertumbuh dalam rahim mama.
Saat-saat itu kita hidup dalam dunia yang indah sekali karena:
- rahim mama merupakan satu dunia, rumah tempat tidur dan sekaligus selimut bagimu. Kita dilingkupi oleh semua yang meneteng, memeluk dan yang membuat engkau selalu terlelap. Di sana kita tak pernah merasa panas atau dingin, “udara” selalu baik dan nyaman. Temperaturnya selalu sama.
- rahim mama merupakan dapur, meja makan dan piring, senduk bagi kita. Dan juga kamar WC. Di sana kita makan dan membuang kotoran lewat tali pusat, yang dihubungkan dengan badan mama. Apa yang mama makan menjadi makanan kita pula. Oleh karena itu mama harus menerima banyak pantangan. Kalau mama salah makan, habislah riwayat kita. Singkatnya kita sungguh buah kandungan mama. Dijaga dengan hati-hati dan penuh kasih sayang.
- rahim mama juga menjadi tempat disko bagi kita. Kata orang, kandungan mama dilingkungi oleh urat-urat nadi yang selalu berdetak, sehingga kedengarannya seperti musik di telinga. Kita bergerak dan menari dengan kaki dan tangan. Pada waktu itulah mama merasa kita bergerak dalam kandungan. Mama akan selalu mengatakannya kepada papa dan bapa sungguh akan bahagia mendengarnya, sebab itu tanda kita sehat.
Adik-adik sekalian,
Sebelum kelahiran, segala-galanya sudah disiapkan oleh bapa dan mama. Mungkin sudah dibelikan pakaian baby, dot dan box untuk kita. Ketika mama dihantar ke rumah bersalin, dimulailah saat-saat genting itu.
Setiap kelahiran merupakan saat-sat hidup dan mati. Saya teringat akan kisah kelahiran saya. Saya dilahirkan di rumah bukan di RS. Kata mama, ketika hendak melahirkan, saya tidak bisa keluar dari rahim mama. Entah karena apa mama tidak tahu.
Mama keringat basah seluruh tubuh. Pikirnya saya akan mati dan otomatis ia pun mati. Tetapi syukurlah berkat bantuan seorang dukun kampung, mama akhirnya bisa melahirkan saya dan jadilah saya seperti baik adanya.
Betapa leganya ketika mama mendengarkan tangis kita yang pertama. Ya, kita menangis. Mengapa mesti menangis? Pertama: karena kita mulai merasa panas atau dinginnya dunia ini dengan kulit yang halus itu. Kedua: karena kita mulai bernafas sendiri dengan hidung kita.
Ketiga: mungkin kita mengucapkan selamat tinggal kepada mama, karena selama sembilan bulan lamanya engkau amat terikat pada mama. Ya, sejak saat itulah kita semakin jauh dari mama.
Dengan kehadiran kita ke dunia dan terutama ke dalam keluarga, pekerjaan bapa dan mama bertambah berat. Ibu menyusui, memandikan dan menceboki kita. Mama dan papa hampir tidak bisa tidur malam, karena mereka selalu akan tersentak bangun setiap kali mereka mendengar tangismu: Eaa…eaaa…!!
Kerja papa pun bertambah berat. Sebab sekarang sudah bertambah satu jiwa dalam rumah. Mungkin ia harus bekerja rangkap atau lembur. Ia harus berjuang supaya tidak kalah bersaing. Mungkin karena itu ia terpaksa tidak sering di rumah (saya: bapak selalu tidur di kebun). Kemudian sekali kau diantar ke TKK, ke SD, ke SMP, dan sekarang di SMA.
Apalagi kalau selera kita maunya sekolah di sekolah-sekolah yang mahal. Memang papa dan mama berjuang supaya kita dapat belajar di sekolah yang baik demi sebuah masa depan! Berapa ratus ribu, mungkin juta, yang harus bapa habiskan supaya engkau dapat sekolah.
Mungkin masih teringat dalam memori Anda mereka datang jauh-jauh dari kampung dan berdesak-desakan dengan orang tua murid yang lain untuk sekadar mendapat secarik formulir supaya namamu dapat tercantum di sekolah itu.
Adik-adik, sekarang kamu sudah besar. Kamu sudah tahu berjalan dan sering lari dari rumah. Sekarang kamu sudah pintar, sebab sudah bersekolah. Kamu sudah pandai sekali berbicara dan kadang-kadang suka berdebat dengan bapa dan mama dengan mengatakan mama cerewet.
Ingatkah kamu ketika kamu diajar dengan sabar oleh mereka untuk menyebutkan kata-kata yang pertama itu: bapa-mama. Sekarang kamu sudah memiliki banyak teman di luar rumah. Adik-adik, sejarah itu sudah berlalu.
Apakah kamu mau melupakannya begitu saja? Bapa dan mama sebenarnya tidak menuntut apa-apa darimu. Mereka hanya menghendaki supaya masa depanmu baik. Bapa dan mama yang sejati tidak akan pernah memimpikan balas jasa.
Ada sebuah cerita: seorang anak yang selalu disuruh ibunya setiap pagi untuk membeli sesuatu di kios, di depan rumah mereka.
Untuk itu, si ibu selalu memberi uang seribu rupiah sebagai “upah” untuk anaknya. Pada suatu hari, ibu itu lupa memberikan upah selama seminggu untuk anaknya. Pada akhir minggu itu ibu mendapat satu rekening dari anaknya:
Upah beli gula pada hari Selasa… Rp 1000,-
Upah beli roti pada hari Rabu….. Rp 1000,-
Upah beli teh pada hari Kamis….. Rp 1000,-
Upah beli kopi pada hari Jumat…..Rp 1000,-
--------------------------------------------------------------
Jumlah Rp 4000,-
Entah mengapa ibu itu menangis waktu melihat rekening itu, walau anaknya masih kanak-kanak. Apakah terpikir oleh ibu itu untuk membuat semacam rekening juga???? Pasti tidak! Saya hanya mengandaikan kalau ibu itu juga mau membuat rekening pasti bunyinya demikian:
“Untuk sembilan bulan, ketika mama mengandung engkau selama kau tumbuh di dalam perut mama…. Gratis. Untuk semua malam ketika mama menemani engkau, emngobati engkau, dan mendoakanmu… gratis. Untuk semua saat susah dan semua air mata yang kamu sebabkan selama ini…. Gratis. Kalau dijumlahkan semua harga cinta mama adalah gratis. Dan kalau kamu menjumlahkan semuanya, harga cinta mama adalah,,,,,,, GRATIS. Dan masih banyak lagi
Kata Akhir
Kalian, dan saya juga, sudah beranjak dewasa. Sebentar lagi kalian akan tamat SMA dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi atau mungkin juga langsung terjun ke masyarakat (kerja). Semuanya belum terlambat dan bahkan tidak pernah boleh kita katakan tidak ada waktu lagi untuk membalas kebaikan dan cinta orangtua.Sejak dini kita harus menanamkan sikap respek dan cinta yang setinggi-tingginya terhadap orangtua. Jika tidak, kelak kita tidak akan pernah bisa menghormati orangtua, apalagi status dan jabatan yang telah berubah. Kita saksikan sendiri, kita dengar, kisah hidup di mana banyak anak yang menginjak-injak orangtua mereka, bahkan membunuh.
Ada pula yang tidak menerima keadaan orangtua mereka yang miskin, tua, kuno, dst. Begitupun dengan guru-guru kita. Sebab dari kedua manusia inilah yang memungkinkan keberadaan kita. Kita ingat pertanyaan dasar: “Siapakah Aku”.
Adanya diriku ditentukan oleh adanya yang lain. Aku sebagai anak yang cantik/ganteng/berprestasi/pintar serta punya kelebihan dan kekurangan ini ada hanya karena pertemuan kedua kromosom bapa dan mama. Sehingga sejarah hidup saya saat ini merupakan warisan dari sejarah orangtua dan para pendahulu saya.
Saya tidak ada begitu saja seperti turun dari langit. Tuhan Yesus saja lahir dari rahim seorang perempuan Maria (dan Yusuf). Segala bakat dan kemampuan alami saya yang terpendam di dalam diri kemudian disalurkan melalui sebuah proses pendidikan, yaitu sekolah. Siapakah orangtua “wali” kita di sana, mereka adalah para guru.
Para guru kemudian menjadi orangtua kita yang kedua, yang dipercayakan orangtua untuk mengajar, mendidik dan melatih banyak hal tentang kompleksitas kehidupan ini.
Kita percaya, dengan dua batu tungku yang lain itu: orangtua dan guru kita (tidak ada yg hanya 2 tungku) bisa “memasak” hidup kita menjadi lebih enak, gurih, sedap, serta aneka rasa yang lainnya, yang tidak bisa diungkapkan dengan kata. Sebab kata-kata bisa bohong, tetapi lidah tidak bisa bohong.*
Bahan ini diberikan kepada para siswa SMAK Frateran Maumere, Desember 2015 di Larantuka.
COMMENTS