Nama Clarita Mawarni Salem, Putri Pariwisata Indonesia 2019 menghebohkkan perbincangan jagad maya setelah keliru menyebut Danau Kelimutu sebagai satu di antara destinasi wisata di Labuan Bajo.
![]() |
Clarita Mawarni Salem. Foto: @mawar.salem. |
Nama Clarita Mawarni Salem, atau yang akrab disapa Mawar, sontak menjadi bahan perbincangan jagad maya beberapa hari belakangan.
Perbincangan tentangnya tidak semata-mata hanya karena raihan prestasi puncaknya sebagai Putri Pariwisata Indonesia (PPI) 2019 yang digelar di Studio TVRI Jakarta, Jumat (6/9).
Karena prestasi bergengsi yang sama diraih perwakilan NTT Sarlin Lede Jones pada ajang Miss Grand Indonesia 2019, sepekan sebelumnya di Balai Sarbini Jakarta, Jumat (29/08). Namun nama Sarlin Jones seolah cepat ditelan waktu.
Masyarakat kita, yang memang cenderung lebih aktif di "ruang maya" (cyberspace), membahas nama Mawar lebih bernada satir, hanya karena dara 18 tahun asal kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) itu keliru memasukkan Danau Kelimutu sebagai salah satu destinasi wisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat.
Padahal, Danau Tiga Warna Kelimutu secara geografis terletak di Kecamatan Moni, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Danau Kelimutu sendiri ditemukan oleh seorang komandan militer Belanda bernama B. van Suchtelen pada 1915. Nama Danau Kelimutu menjadi semakin populer setelah Y. Bouman menulis tulisan tentang Danau Kelimutu di tahun 1929. Tulisan tersebut mengundang banyak perhatian dari wisatawan.
Seperti Taman Nasional Komodo yang telah dijadikan 10 Kawasan Wisata "Bali Baru", Danau Kelimutu saat ini sedang dipersiapkan menjadi salah satu 'Taman Bumi", bagian dari jaringan geopark dunia atau UNESCO Global Geopark (UGG) di tahun 2021 dengan nama Geopark Kelimutu.
Kemiripan antara Taman Nasional Kelimutu (TNK) dan Taman Nasional Komodo (TNK), kedua tempat wisata yang menjadi kawasan strategis pariwisata nasional, mungkin membuat Mawar berpikir keduanya sama.
Dengan literasi membaca yang dianggap mumpuni, barangkali Mawar terlalu cepat dan ceroboh menyebutkan Danau Kelimutu sebagai salah satu tempat wisata paling ramai dikunjungi di Labuan Bajo, selain Taman Nasional Komodo dan Pink Beach.
Mawar tidak tahu bagaimana pandangan juri pada malam jelang penobatannya. Apakah mereka mengurangi poin penilaian terhadap dirinya (dengan keunggulan di beberapa kategori lain), atau menganggapnya sebagai "kebenaran".
Pasca malam penganugerahan, terutama dipicu oleh kekeliruannya, masyarakat asal Kabupaten Ende menyerukan protes, komentar satir, catatan, dan kritikan.
Semua ulasan mereka terekam secara digital di linimasa maya publik NTT, terutama di beberapa linimasi grup Facebook dengan nama (kabupaten) "Ende".
Satu gagasan yang dibawa para pengkritik, yaitu penyesalan yang dalam karena sebagai anak NTT, Mawar sejatinya mengenal dengan baik destinasi wisata prioritas di NTT. Apalagi Danau Kelimutu bukan ornamen wisata yang sama sekali baru seperti Wolobobo atau Manulalu di Bajawa, Ngada.
Menyadari kesalahannya, Mawar yang saat ini siap mengikuti ajang Miss Tourism International di Malaysia 8 November mendatang menyampaikan permohonan maaf kepada pemerintah dan seluruh masyarakat NTT.
“Seharusnya Danau Kelimutu, Danau Tiga Warna itu di Kabupaten Ende, bukan di Labuan Bajo. Mawar dari hati yang paling dalam memohon maaf atas hal itu,” ungkapnya seperti dilansir Pos Kupang, Sabtu (7/9).
Terlepas dari fatalitas atau banalitas kekeliruan itu, Mawar yang telah meminta maaf kepada masyarakat dan pemerintah NTT patut kita apresiasi. Ia begitu rendah hati mengakui kekeliruannya.
Barangkali debutnya di panggung Putri Pariwisata membuatnya begitu nervous, meski pada malam itu para juri sendiri memuji kemampuan public speaking-nya.
Terlepas dari keunggulannya di beberapa kategori lain tersebut, publik NTT amat menyayangkan gelar kehormatan yang diraih justru dilalui melalui jalan yang bagi mereka dianggap "salah".
Tapi, apakah ini menjadi wujud religiusitas masyarakat NTT yang menginginkan seorang figur publik mestinya terhindar dari kesalahan, kekeliruan, atau dalam konteks iman sebagai dosa?
Saya berpikir kritikan masyarakat yang meluas oleh warganet ini mesti dilihat juga dalam konteks yang lebih luas. Sebagaimana kritikan bertujuan untuk melihat "power abuse", maka publik NTT pantas melakukannya.
Salah satu pertanyaannya adalah mengapa kesalahan Mawar justru menjadi kredit poin yang, kita tidak tahu, mengantarnya merengkuh makhota PPI 2019. Adakah muatan kepentingan ekonomi, politik dan bisnis di belakangnya?
Sebagaimana kita tahu, PPI diselenggarakan sejak tahun 2008 yang asal mulanya berawal dari pemikiran untuk menjadikan budaya bangsa sebagai daya terik dan kekuatan pariwisata sekaligus menyongsong Visit Indonesia Year 2008.
Johnnie Sugiarto, Presiden Direktur El Jhon Pageants, perusahaan yang fokus bergerak di bidang pariwisata Indonesia saat itu berniat agar dapat mempromosikan keindahan dan keramahan negeri ini ke seluruh nusantara dan mancanegara.
Sejalan dengan ide tersebut, maka diselenggarakan pemilihan PPI pada tahun 2008 yang bekerjasama dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia.
Setelah berjuang dan mendapat hak penyelenggaraan sebagai pemegang lisensi Miss Tourism International, maka pemenang kontes ini berhak tampil mewakili Indonesia di kontes yang bertaraf internasional, termasuk Mawar.
Visi pendirian PPI sangat ideal, yaitu untuk menjual pariwisata Indonesia di dunia. Pemerintah tentu amat mendukung upaya tersebut. Apalagi di tengah stagnasi kunjungan wisatawan asing ke Indonesia.
Namun, ada apa dengan NTT. Tercatat dalam sepekan, dua putri asal NTT merengkuh gelar bergensi nasional. Fenomena ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
Sebagai masyarakat NTT, kita patut berbangga atas pencapaian putra putri terbaik kita. Meski kebanggan itu lebih didorong oleh sentimen lokal.
Namun pertanyaan kita bersama, apakah memang ekosistem kesenian, literasi, dan pendidikan di NTT sudah lebih maju dari sebelumnya? Sejauh mana pemerintah kita menyediakan platform yang mendukung penciptaan ekosistem daerah yang kuat dan bertahan?
Saya pikir, dalam beberapa tahun terakhir, belum ada yang dibanggakan, selain kemunculan beberapa bintang di bidang musik, misalnya Near, yang lagunya "Karna Su Sayang" menebus ratusan juta penonton. Atau kemunculan Azizah, Abdur, Mario Klau, Andmesh Kamaleng, Aldo Longa, Betrand Peto, dll.
Karena, di tengah klaim sebagai perwakilan NTT, mereka kebanyakan berjuang sendiri, tanpa melalui manajemen, atau dalam konteks yang lebih luas, ekosistem yang disediakan Pemda.
Jika kita menoleh sejarah, Mawar bukan satu-satunya. Karena di berbagai kategori, NTT bukan lagi orang baru di kancah nasional, bahkan internasional.
Di ranah media, akademik, politik, bisnis, musik dan sastra, serta infotainment, sudah cukup banyak putra-putri NTT yang namanya sudah gaung di level nasional, bahkan sejak zaman Orde Lama.
Salah satunya pelopornya adalah Frans Seda. Dan yang lainya seperti Daniel Dhakidae, VB da Costa, Gerson Poik, Ivan Nestorman, dan deretan nama lainnya. Dan saat ini ada beberapa generasi yang lebih muda.
Di skala global, kehadiran para misionaris (imam) Katolik di beberapa benua, tentu tidak saja merepresentasikan nama Indonesia, tapi secara khusus, dunia luar melihatnya sebagai masyarakat NTT.
Karena itu, pantas dan wajar masyarakat kita memprotes, mengkritik dan menyindir prestasi bergengsi yang diraih Mawar. Itu berarti, masyarakat kita sudah lebih maju dalam upaya membangun kesadaran publik akan pentingnya literasi pariwisata yang lebih kuat oleh mereka yang mengklaim diri sebagai 'duta wisata'.
Dengan kritikan itu, memperlihatkan bahwa masyarakat kita sudah bisa melepaskan ego sektoral atau sentimen etnisitas yang cenderung mengagung-agungkan prestise.
Masyarakat juga mulai sadar akan adanya kesenjangan dalam budaya industri, bahwa ikon pariwisata tidak sekedar menjadi artefak kebudayaan, tapi dapat menjadi "komoditas" yang dapat dijual. Seperti halnya dengan prestasi menjadi PPI dapat dikomodifikasi menjadi kepentingan ekonomi politik.*
Keren
BalasHapus