Persoalan human trafficking bagi masyarakat Labuan Bajo, Manggarai Barat kian nyata di tengah arus wisata dan ekspansi bisnis para bandit.
![]() |
Ilustrasi human trafficking. Foto: scmp.com |
Pukul 09.00 pagi itu, Jumat (13/4/2018), suasana di Aula Polres Manggarai Barat (Mabar) nampak lengang. Tidak ada kegiatan yang menonjol. Hanya terlihat beberapa orang yang berbincang-bincang lepas, entah duduk atau berdiri.
Sementara di luar, para anggota polisi sibuk menyambut para calon anggota tamtama dan bintara yang mendaftarkan diri. Meski di undangan tertera sudah waktunya untuk memulai, tapi para undangan baru sekitar sepuluh orang yang menempati kursi.
Selebihnya, anggota panitia sudah siap pada posisinya. Begitulah kultur lokal masyarakat kita yang sudah terpola setua peradaban. Jika orang Barat katakan: time is money, orang-orang kita terbiasa untuk mengatakan: "waktu itu karet".
Sejam berselang, tepatnya di pukul 10.00, barulah kegiatan formal dialog, deklarasi dan kampanye “Stop Human Trafficking” dibuka. Kira-kira 50-an peserta yang menempati kursi yang disediakan. Tidak banyak.
Adalah komunitas (LSM) Sunspirit for Justice and Peace (Rumah Kreasi Baku Peduli) Labuan Bajo, yang mengatur seluruh acara. Dibuat dengan tujuan sebagai ‘kritik dan kepedualian sosial’ terhadap kerentanan masif dari pembangunan ekonomi pariwisata, diskusi ini berjalan alot meski tidak banyak waktu untuk dialog.
Di akhir acara, ada sebuah komitmen yang menjadi visi kerja bersama untuk menghindari praktik human trafficking tingkat kabupaten Mabar.
Labuan Bajo, sebagai salah satu dari 5 destinasi wisata nasional, pun rentan terhadap praktik-praktik “perdagangan manusia”, meski kini belum mengemuka, atau masih ‘bermain’ di bawah tanah.
Kerentanan itu makin hari makin kuat seiring berkembangnya arus urbanisasi warga lokal, pun privatisasi tanah ulayat yang dulu menjadi bagian penting dari kearifan warga pribumi.
Menurut Direktur Sunspirit Labuan Bajo Avi Oma, dulu warga Bajo, yang menguasai wilayah pesisir Labuan Bajo, punya tanah yang luas. Tapi kini banyak tanah dan pemukiman mereka dikuasai oleh investor asing, baik dari Jakarta maupun dari luar negeri. Karena tanah itu dulu mereka jadikan lahan pertanian, dan tanpa status sertifikat yang pasti.
Tapi kini semuanya dipersempit, dan mereka kehilangan banyak tanah. Ketika mereka memilih jadi nelayan pun, sekarang begitu tinggi persaingan. Selain berekonomi rendah, mereka tidak bisa bersaing dengan “mereka-mereka” yang punya kapal ikan besar dan elit. Akhirnya, banyak anak cucu mereka yang kehilangan pekerjaan.
Alumnus STF Driyarkara Jakarta menambahkan, kasus yang hampir sama terjadi di wilayah kecamatan Lembor. Jika dulu setiap warga punya 2 hektar lahan persawahan, tapi kini banyak masyarakat yang hanya punya kurang dari seperempat hektar sawah.
Dapatlah diprediksi, beberapa dekade lagi, anak cucu tidak lagi memiliki lahan pertanian. Di sinilah letak kerentanan itu terjadi. Banyak generasi muda yang kehilangan mata pencaharian, sehingga membengkaklah angka pengangguran dan memilih pekerjaan alternatif di luar negeri.
"Dalam kondisi rentan demikian, mereka mudah diperdayai, dimanipulasi, dan dipekerjakan yang berbuntut pada perlakuan tidak manusiawi," katanya.
Diskusi yang memakan waktu kurang lebih empat jam itu menghadirkan delapan pembicara dari berbagai instansi pemerintah, kepolisian dan organisasi masyarakat.
Ada tiga instansi yang menjadi narasumber, antara lain dari Dinas Sosial, Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dari kepolisian ada Kapolres dan dari DPRD ada Ketua Komisi C.
Sementara dari LSM, antara lain: JPIC SVD Ende, JPIC SSpS Labuan Bajo, dan Rumah Kreasi Sunspirit Labuan Bajo.
Ada sebuah frame yang dapat diambil dari pemaparan para narasumber. Bahwa human trafficking pertama-tama dipicu oleh adanya masalah kemiskinan, pengangguran, dan korupsi. NTT yang terkenal sebagai provinsi paling korup di Indonesia, diduga menjadi faktor kunci maraknya kasus trafficking yang menimpa masyarakatnya.
Politik anggaran yang minim terhadap persoalan trafficking, rendahnya tanggung jawab etis pemerintah terhadap korban, tidak adanya kebijakan hukum pro perempuan, dan kuatnya jaringan mafia yang melibatkan orang penting, adalah deretan faktor lain yang secara tersirat memunculkan banyaknya “peti mati” imigran asal NTT karena mereka pekerja di Malaysia.
Dan mengapa selalu saja korbannya adalah pekerja di Malaysia, pertama-tama karena hubungan internasional tidak harmonis antara kedua negara yang punya hubungan kolateral itu.
Karena itu, perlu adanya upaya preventif agar persoalan trafficking menjadi agenda prioritas pemerintah, sehingga tata kelola anggaran untuknya jadi lebih besar. Selain itu, perlu diberdayakan komunitas adat.
“Sebab dengan komunitas adat yang kuat, warga masyarakat ditekan untuk ‘tidak keluar” dari daerahnya,” kata P. Charles Beraf, SVD, dengan mencontohkan masyarakat adat Lio, Ende.
Lebih dari itu, komunitas-komunitas masyarakat perlu juga membentuk sebuah asosiasi politis agar punya daya tawar yang kuat terhadap parlemen untuk mendesakkan kepentingan mereka.
“Semakin kuatnya posisi tawar politik masyarakat, maka akan berpengaruh terhadap kebijakan anggaran dan tata kelola pemerintahan yang makin transparan, akuntabel, kredibel, dan tepat sasaran. Jika masyarakat lemah maka pemerintah dan DPR akan “bermain-main” dengan anggaran. Pada akhirnya, masyarakat tetap jadi korban karena tidak ada pemberdayaan dan solusi,” tandas Venan Haryanto, peneliti muda pada Rumah Kreasi Sunspirit.
Sehari berselang, komunitas Sunspirit dalam kerjasama dengan SMAK Suryadikara Ende, pun mengadakan pentas teater bertemakan “Stop Human Trafficking” di lapangan Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo.
Digawangi seluruhnya oleh siswa-siswi SMAK Suryadikara, teater musikal berjudul “Tungku Haram” itu menyedot perhatian warga kota Labuan Bajo.
Ribuan warga memadati lapangan dan rela berdiri hampir 2 jam sepanjang pementasan. Mereka berdesakan bukan saja karena ingin menyaksikan kehebatan para pelakonnya, tapi ingin mendapat pesan yang lebih jelas dari acara itu.
Pater John Wadu, SVD, dalam sambutan singkatnya, menjelaskan alasan dibuatnya pentasan dan juga maksud dari judul teater itu.
Berjudul "Tungku Haram" mau menjelaskan bahwa semua yang kita makan, diolah di tungku. Jadi, jika seorang calo trafficking dapat uang dari hasil penjualan seorang anak manusia, maka ia makan dari tungku yang haram.
“Kita tahu, Labuan Bajo sudah jadi kota pariwisata. Memang belum ada kasus berarti di tempat ini, tapi pariwisata selalu membawa dalam dirinya pengaruh-pengaruh negatif. Karena itu, kita perlu waspada agar trafficking dan sejenisnya tidak terjadi di sini," kata alumnus STFK Ledalero itu disambut tepukan meriah para penonton.*
COMMENTS