St. Teresa Avila adalah suster Karmel dan pujangga Gereja yang mewujudkan cinta kasih total kepada mempelainya, Yesus Kristus.
![]() |
St. Teresa Avila. Foto: id.wikipedia.org. |
"Di dalam cinta kasih dan takut akan Allah aman sentosalah perjalanan anda (JK.XL)"
Pengantar
Setelah menciptakan bumi dan segala isinya, Allah tidak pernah “tertidur” sekalipun manusia, ciptaannya mengkianati Dia; makan buah terlarang (bdk.Kej 3:6) dan jatuh ke dalam dosa. Situasi ini menyebabkan retaknya hubungan yang mesra antara Allah dan ciptaan-Nya.Manusia yang sejak semula hidup dalam kelimpahan dan kejayaan, di mana segala sesuatu tersedia, akhirnya harus bekerja keras untuk mendapatkannya kembali masa-masa indah itu. Manusia yang pada mulanya dipercayakan sepenuhnya oleh Allah, secara perlahan kehilangan kepercayaan dari Allah sendiri.
Dan dampak dari itu perseteruan di antara manusia pun terjadi walaupun berasal dari kandungan yang sama (bdk. Kej 4:1-6). Namun, lunturnya kepercayaan Allah itu bukan berarti Allah melepaskan manusia begitu saja, Ia tetap dan selalu kembali pada sisi manusia, Allah tidak sampai hati.
Dengan kelimpahan kasihNya, Allah tetap melawat umat-Nya. Allah terus mengundang manusia untuk kembali bersatu dengan-Nya dalam kekudusan. Sebagai bukti dari kasihNya yang tak pernah padam kepada manusia yang berdosa, Dia rela mengorbankan Putra-Nya yang tunggal wafat di kayu salib demi menyelamatkan manusia.
Dia rela menjadi kecil dan tinggal bersama dengan manusia. Itulah cinta kasihNya yang berlimpah-limpah pada umatNya. Cinta kasih yang sempurna yang tidak pernah kita dapat dari “dunia”.
Saudaraku, perlu anda kalian ketahui!!! Allah yang kita sembah adalah Allah yang hidup yang tidak pernah “tertidur”. Dari hari ke hari Dia mencurahkan kasih-Nya yang melimpah kepada manusia. Namun, itu semua belum cukup.
Curahan rahmat-Nya akan tidak berarti jika tidak ada tanggapan dari pihak kita. Kita dituntut untuk menanggapi tawaran cinta kasih-Nya itu, dengan melaksanakan perintah-Nya yakni; mencintai-Nya yang terungkap dalam ketekunan untuk berdoa, dan mencintai sesama kita dalam rupa berbagi kasih.
Memang harus kita akui bahwa, mencintai Allah dan sesama dalam konteks zaman ini merupakan tantangan terbesar bagi setiap pribadi manusia khususnya: pengikut Kristus. Di mana orang dihadapkan pada aneka tawaran dan tegangan kerena pengaruh arus globalisasi dan modernisme. Hal ini terjadi karena perkembangan pola pikir manusia.
Di satu sisi kita mengakui adanya hal-hal positif yang dihasilkan demi kesejahteraan manusia yang lebih besar. Di sisi lain juga membawa dampak negatif dalam kehidupan beragama (GS 4), bahkan membawa kegoncangan dalam hidup rohani (Gs 5). Hal ini diwarnai juga dengan sikap individualistis dan egoisme yang tinggi. Contoh nyata akan hal ini selalu kita temukan dalam pernyataan, “Lu-lu, gue-gue”.
Dalam keadaan seperti ini, sebagai orang beriman kita mesti secepatnya melakukan pilihan yang jitu, tepat sasaran, agar kita tidak ikut terkungkung dan terjerumus dalam situasi ini.
Sebuah pilihan yang tepat adalah kembali ke semangat awali, hidup sebagai orang beriman yakni: “mencintai Tuhan, Allah, dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi. Dan kasihilah sesama manusia seperti diri kita mengasihi diri kita sendiri (bdk. Mat 22:37-38)”. Bagaimana kita dapat melakukan perintah Allah ini dengan sempurna dalam situasi zaman ini?
Untuk menjawabi pertanyaan dan sekaligus kebutuhan ini, maka penulis mengajak kita semua untuk belajar dari St. Teresia Avila dan berjalam bersamanya menuju puncak kesempurnaan Gunung Karmel yakni: Krisus sendiri. Meskipun ajaran-ajaranya sudah berlaku sejak 500 tahun yang lalu, sudah sangat tua, tetapi bukan berarti tidak relevan dengan kehidupan iman kita zaman ini.
Ajaran St. Theresa Avila tetaplah aktual untuk masa ini, bahkan di setiap masa. Namun, sebelum kita sejenak melihat riwat hidup St, Teresia Avila. Dengan demikian bernarlah bahwa ”untuk mengenal seseorang secara lebih mendalam, kita perlu melihat asal, yakni keluarganya, kota, atau kampung halamannya, dan lingkungan sosialnya tempat dia bertumbuh dan berkembang.
‘Jika tak dikenal, maka tak disayang. Dikenal maka disayang’ demikian kata pepatah. Kerenanya, untuk dapat mencintai pribadi St. Teresia Avila dengan segala kekayaan ajarannya, kita perlu mengenalnya terlebih dahulu.
Riwayat Hidup
“Aku adalah putri Gereja. Aku ingin mati sebagai putri setia Gereja”. Kata-kata ini diungkapkan oleh seorang biarawati Karmelit asal Sepanyol pada abad ke-16.Namanya: St. Teresia Avila, terlahir dengan nama "Teresa de Ahumada y Cepeda” di Avilla, Spanyol. pada tanggal 28 Maret 1515. Ia dikenal sebagai salah seorang mistikus dan pujangga Gereja. Ia terkenal sebagai pembaharu corak hidup membiara di kalangan Ordo Suster-Suster Karmelit.
Dari buku otobiografinya, kita mengetahui banyak hal tentang kehidupannya sendiri dan keluarganya. Orang tuanya sangat saleh dan disiplin namun tidak kaku, dermawan tetapi tidak pemboros.
Teresa adalah anak ketiga dari sembilan orang bersaudara dari perkawinan kedua ayahnya, Alfonso de Cepeda, dengan Beatriz de Ahumada. Bila digabung dengan anak-anak dari perkawinan pertama ayahnya, mereka ada 12 orang bersaudara.
Di rumah, Teresa mendapat pendidikan yang baik sehingga membuat dia berkembang menjadi seorang puteri yang riang dan sangat aktif.
Pernah suatu hari dalam umur tujuh tahun, ia bersama kakaknya Rodrigo bertekad pergi ke Afrika agar mati sebagai martir, karena mendengar berita penganiayaan orang-orang Kristen di sana oleh orang-orang Moor. Semakin besar, Teresa semakin cantik dan menarik.
Penampilannya sangat menyerupai ibunya. Hanya saja, ia sadar akan keelokan wajahnya, dan akan jiwanya yang pesolek dan senang dikagumi. Ayahnya cemas sekali akan perkembangannya, sehingga cepat-cepat menyekolahkannya dia di sebuah sekolah puteri yang dikelola oleh suster-suster Santo Agustinus.
Di sana ia tinggal di asrama dengan disiplin yang keras. Cara hidup di dalam asrama itu membuat ia sadar akan perilakunya yang kurang pada tempatnya. Tetapi ia sakit-sakitan dan akhirnya terpaksa kembali ke rumah setelah satu setengah tahun belajar di sekolah itu.
Pada tahun 1538 tatkala berusia 21 tahun, ia masuk biara karmelit inkarnasi di Avilla dengan nama Teresia dari Yesus. Baginya kehidupan membiara adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan jiwanya sendiri dan jiwa orang lain.
Di biara itu memang melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya namun ia bersikap acuh tak acuh terhadap kehidupan rohaninya bahkan memandang remeh dosa-dosanya. Batinnya semakin kacau ketika ayahnya meninggal dunia. Ia jatuh sakit keras dan selama empat hari berada dalam keadaan koma seperti orang yang mendekati ajal.
Kemudian tiga tahun ia lumpuh. Dalam penderitaan itu ia banyak berdoa dan bersemedi sehingga hidup rohaninya berkembang pesat. Dia dikaruniai banyak rahmat sehingga sering mengalami ekstase. Pengalaman-pengalaman rohani itu membuat hatinya dipenuhi semangat cinta kasih ilahi.
Pada tahun 1560 dalam sebuah penglihatan ia pernah menyaksikan kesengsaraan orang-orang di dalam neraka. Sejak itu ia mengalami suatu pertobatan batin yang radikal dan berdoa agar Yesus memperkenankan dia melayaninya dengan penuh kesetiaan. Untuk itu ia berikrar selalu berbuat yang lebih baik sesuai dengan kehendak Allah.
Pada usia lima puluhan Teresa mencita-citakan suatu biara kecil dimana beberapa orang suster menghayati dengan lebih sungguh aturan-aturan asli karmelit. Bersama empat suster lain, ia mendirikan biara idamannya itu: biara Santo Yosef di Avilla pada tanggal 24 Agustus 1562.
Tujuan utamanya untuk membaharui semangat hidup suster-suster karmelit sesuai dengan tujuan aslinya. Usahanya mendapat banyak tantangan.
Tetapi Paus mendukung usaha pembaharuannya itu. Anggotanya terus bertambah dengan pesat. Selama dua puluh tahun berikutnya Teresa menjelajahi seluruh Spanyol untuk menyebarluaskan ide pembaharuannya itu, sambil mendirikan biara-biara semuanya berjumlah lima belas meskipun dengan susah payah.
Ciri khas biaranya: kecil, miskin, tertutup terhadap dunia luar dan berdisiplin keras. Semangat pembaharuan yang dihidupkan Teresa menembus pula tembok Ordo Karmel lain yang ada pada masa itu. Mereka pun mulai berbenah diri meneladan Teresa.
Bersama Santo Yohanes dari Salib, Teresa mendirikan pertapaan pertama bagi rahib-rahib karmelit di Duruelo. Untuk menjaga agar peraturan hidup para karmelit dipegang teguh, Teresa menuliskannya dalam buku tebal. Selain itu ia pun banyak menulis buku-buku rohani yang berisi pengalaman-pengalaman rohaninya.
Buku-bukunya yang terkenal antara lain: otobiografi berisi kisah hidupnya sejak kecil; fondasi berisi uraian tentang upaya pembaharuannya; istana batin berisi pengalaman-pengalaman rohaninya.
Tulisan-tulisan ini ditujukan terutama pada susternya, karena nilainya yang bersifat universal, maka gereja menganggapnya sebagai kazanah iman Kristen yang tak ternilai harganya bagi pengembangan iman. Dengan demikian tulisan-tulisannya itu menjadi kekayaan gereja dan dianggap berbobot bagi pembinaan iman umat teristimewa di Spanyol.
Wanita yang penuh wibawa, polos, cantik, dan menyenangkan itu jatuh sakit, dan meninggal dunia di pangkuan bunda Anne di biara Alba de Tormes pada tanggal 24 Oktober 1582 saat mengadakan perjalanan dari Burgos ke Avilla. Beliau dinyatakan kudus pada tahun 1622 oleh Paus Gregorius XIV dan diangkat sebagai pelindung Spanyol.
Cinta Kasih: Jalan menuju Kesempurnaan
“Aku adalah putri Gereja. Aku ingin mati sebagai putri setia Gereja”, demikian kata St. Theresa. Bagi saya, kata-kata ini menarik untuk direfleksi. Kata-kata ini bagaikan suara yang berseru-seru di padang gurun “luruskan jalan bagi Tuhan”.Suara yang tak kenal diam, yang terus berkata-kata, baik atau tidak baik waktunya, entah didengar atau diabaikan. Ia bagaikan nabi yang terus memekik nyaring, dari padang gurun dia meneriakan pertobatan. “Aku adalah putri Gereja. Aku ingin mati sebagai putri setia Gereja”.
Sebuah pertanyaan untuk kita, “apa makna kata-kata ini bagi kita? Sungguh, kata-kata ini luar bisa bagi saya, kata-kata yang keluar dari hati seorang wanita kudus yang selama hidupnya sangat mencintai Gereja, yakni: Kristus sendiri. Inilah cinta kasih yang sempurna. Cinta kasih yang berani mati karena CINTA. Cita kasih yang bekobar-kobar bagi Allah. Cinta kasih yang tak pernah padam.
St. Teresia adalah wanita kudus yang sangat mencintai Allah dengan pemberian diri yang total kapedaNya. Bagi St. Teresia, mencintai Allah adalah segalanya dan tak tergantikan.
Bukti bahwa ia mencintai Allah adalah mencintai sesamanya ‘suster-susternya’ tanpa memandang suku, bahasa, dan ras, terutama di dalam hidup komunitasnya.
Hal nampak jelas ketika beliau menasihati suster-susternya “Cinta kasih kepada sesama, sangat penting kita milikinya... Dan apabila perintah ini ditaati di dunia sebagaimana mestinya, saya sangka cinta kasih semacam itu sangat membantu kita melaksanakan perinta-perintah yang lain [Jalan Kesempurnaan (JK). IV.5].”
Di sini, St. Teresia, mau menegaskan bahwa mencintai sesama manusia adalah hal yang sangat penting bagi perkembangan kehidupan rohani kita. Orang seperti ini, “akan maju dalam segalah kebajikan dan akan berpegang kepada peraturan dengan sangat sempurna.
Hal ini akan merupakan persahabatan yang lebih baik dari pada semua kata-kata yang mesra, yang dapat diucapkannya... (JK.VII. 8). Orang yang mencapai tingkat cinta kasih yang sempurna ini, biasanya tidak lagi memikirkan dirinya sendiri.
Namun, dalam banyak pengalaman tidak semua cinta kasih itu baik. Hal yang dimaksudkan di sini adalah cinta kasih yang berlebihan, khusus (eklusif). Menghadapi masalah ini St. Teresia menegaskan kepada suster-susternya dan tentu kepada kita semua yang membacanya, “Perlu disadari jangan sampai kita terjebak dalam cinta kasih yang berlebihan (eklusif).
Cinta kasih yang berlebihan mengakibatkan ”kealpaan dalam mencintai semua orang atas cara yang sama; merasa kesal karena setiap penghinaan terhadap kawan; ingin memiliki agar dapat memberikan hadiah-hadiah; mencari waktu untuk berbicara dengan dia dan sering dengan maksud menceritakan kepadanya bahwa anda mencintainya dan mengatakan hal-hal tetek-bengek lainnya dan bukan tentang cinta anda kepada Allah.
Oleh sebab itu persahabatan-persahabatan yang “akrab” ini jarang membantu seseorang untuk lebih mencintai Allah. (JK.IV.6). Hal ini bagaikan penyakit sampar. Masalah serupa juga di ungkapkan oleh St. Yohanes dari Salib, cinta kasih seperti ini membuat jiwanya tetap kerdil dan menimbulkan kerugian yang besar, dia bagaikan ”seekor burung diikat pada benang yang tipis atau pada tali.
Karena meskipun terikat paada benang, burung itu sama terhalangnya untuk terbang seperti kalau ia terikat pada tali- artinya ia tidak bisa terbang selama benangnya masih tidak diputuskan.[Mendaki Gunung Karmel (MGK).11.4].
Cinta kasih seperti ini (eklusif) membuat jiwanya tak mampuh untuk terbang jauh menuju cinta yang lebih sempurna. Cinta kasih seperti ini biasanya adalah cinta kasih yang bersyarat. Di mana Cinta kasih akan memudar tatkala syarat itu tak tecapai. Atau dengan kata lain “ seperti api yang berkobar bila kayu dilemparkan kedalamnya, tetapi api itu akan padam bila kayunya habis terbakar (MGK 6.6).
Kepada kita, St. Teresia mengajarkan sebuah jalan kesempurnaan yakni jalan Cinta Kasih. Di mana St. Teresia mengharapkan kepada kita supaya “Semua harus menjadi sahabat, semua harus dicintai, semua harus disayangi, semua harus dibantu. (JK.IV.7).
Di lain kesempatan pula St. Teresia sekali lagi menasihati kita berkaitan dengan problem penghayatan cinta kasih ini “....hendaknya kalian mengerti bahwa kesempurnaan sejati ialah cita terhadap Tuhan dan cinta terhadap sesama.
Semakin kita melaksanakan hukum ini, semakin sempurnalah kita (Puri Batin I.2.17). Itulah jalan menuju kesempurnaan atau persatuan yang mesrah dengan Allah. Cinta kasih yang dapat menghantar kita menuju kesempurnaan dengan Allah adalah ciinta kasih yang dilandasi atau berakar pada cinta kasih Kristus Yesus sendiri.
Di sini St. Teresia menasihati kita untuk mencintai ”dengan cinta yang jauh lebih besar dan jauh lebih sejati, dan dengan kegairahan serta cinta yang lebih bermanfaat; ringkasnya, itulah cinta kasih.
Dan jiwa-jiwa ini cenderung memberi daripada menerima. Malah sehubungan dengan pencipta sendiri, mereka ingin memberi lebih dari pada menerima. Saya mengatakan, inilah sikap yang layak mendapat nama “cinta kasih”, karena keterikatan-keterikatan dasar yang lain itu telah menyalahgunakan nama “cinta kasih” (JK.VI.7). Inilah contoh cinta kasih yang bersumber dari cinta kasih Kristus sendiri.
Saudara mungkin sedikit bingung serta menimbulkan banyak pertanyaan. Salah satu contoh adalah: bagaimana aku dapat mengetahui bahwa aku sedang mengalami perkembangan dalam cinta kasih yang sempurna?
Berkaitan dengan masalah ini St. Teresia menerangkan kepada kita bahwa “kalau seorang mencintai, ada dorongan kuat untuk menjadikan jiwa yang lain layak dicintai, sebab, seperti saya katakan, orang ini tahu, bahwa kalau tidak, ia tidak akan melanjutkn cinta kasihnya terhadap orang lain itu. Itulah cinta kasih yang mahal harganya.
Orang ini melakukan apa saja yangg mungkin ia buat, demi kepentingan orang lain; ia rela kehilangan seribu hidup, agar sedikit kebaikan dapat datang ke jiwa yang lain. O cinta kasih yang bernilai, yang mengikuti Panglima cinta kasih, Yesus, Harta kita (JK.VI.9).
Cinta kasih itu tidak bahagia sebelum melihat orang itu membuat kemajuan. Di pihak lain, kalau ia melihat orang itu menjadi lebih baik lalu melihat dia agak mundur lagi, rasanya tidak ada yang menggembirakan cinta kasih itu di dalam kehidupan ini. Cinta itu tidak makan atau tidur tanpa prihatin terhadap orang lain.
Cinta kasih itu selalu takut, kalau-kalau jiwa yang begitu ia mencintai hilang, dan keduanya diceraikan untuk selama-lamanya. Kematian di dunia ini sama sekali tidak memengaruhi cinta kasih itu karena cinta kasih itu tidak ingin menjadi terikat kepada apa pun, yang dalam sekejap saja lolos dari tangan seseorang dan tidak dapat diraih lagi. Seperti saya katakan cinta kasih itu sama sekali tanpa kepentingan diri. Hal yang ia inginkan dan dambahkan ialah melihat jiwa yang lain itu kaya dengan berkat surgawi (JK.VII.1).
Cinta kasih itu mahal harganya, untuk itu hanya orang yang benar-benar ingin bersatu dengan Allah sajalah yang mampu membayar harga itu bahkan nyawanya sekalipun ia tak akan pernah merasa rugi, sebab ia tahu bahwa memiliki Allah artinya memiliki segalanya.
Maka Cintailah orang itu sehangat kamu mau. Karena “cinta kasih akan mempercepat langkah kita serta takut akan Allah membuat kita memperhatikan langkah-langkah kita agar mencegah kita jatuh di tengah jalan... ... dengan takut ‘akan Allah’ kita akan aman dari penipuan (JK.XL.1). Setiap perbuatan kasih yang kita lakukan adalah rahmat bagi bumi dan segala isinya.
Kita dapat dikatakan bahwa, cinta kasih itu memberi kita kekuatan untuk menanggung beban, untuk menerima kelemahan sesama, dll.
Cinta kasih itu adalah api yang besar; ia tidak dapat berbuat lain dari pada bersinar terang. ‘Ketika ia muncul, kita hanya melihat cahayanya, bukan sisi gelapnya’.
Dan kalau kegemerlapan ini tidak ada, mereka hurus berjalan dengan sangat ragu-ragu; mereka harus percaya, bahwa mereka sesunggguhnya mempunyai banyak alasan untuk takut; mereka harus berusaha mengerti hal ini; mereka haru berdoa, berjalan dengan rendah hati, dan meminta kepada Tuhan, agar tidak memasukkan mereka ke dalam pencobaan kerena pasti, kalau tanda ini tidak ada, saya takut, kita berjalan menuju percobaan (JK.XL.4).
Dengan demikian penting sekali kita melakukan perbuatan cinta kasih. Apabilah kita memiliki cinta kasih, kita pasti di dalam keadaan rahmat (JK.XL.2).
Dalam menghadapi masalah-masalah dalam hidup Teresia pun menegaskan bahwa “Tuhan hanya meminta dua hal dari kita: cinta akan Tuhan dan cinta akan sesama (PB.V.3.7).
Menurut hemat saya, tanda yang paling jelas bahwa kita memenuhi kedua kewajiban kita itu dengan baik ialah kalau kita menjalankan cinta terhadap sesama dengan baik. Kita tidak dapat mengetahui apakah kita mencintai Allah, walaupun ada banyak gejala yang menunjukan bawha kita mencintai Dia.
Akan tetapi kita dapat mengetahui apakah kita cinta kepada sesama. Percayalah, semakin kalian maju dalam cinta akan sesama, semakin maju pula kalian dalam mencinta Allah. Sebab cinta Tuhan terhadap kita begitu besar, sehingga ia akan menambahkan cinta kita terhadapNya dengan seribu macam cara sebagai balasan cinta kita terhadap sesama (PB.V.3.8).
Sangat menarik bahwa penegasan ini pun terdapat dalam Konnstitusi Ordo Karmel bahwa hendaknya “sikap kontemplasi terhadap dunia sekitar kita menjadikan kita mampu menemukan kehadiran Allah dalam peristiwaa hidup sehari-hari, dan khususnya melihat Dia dalam diri para saudara dan saudari kita. Dengan demikian, kita dibimbing untuk menghargai misteri mereka yang berbagai hidup bersama kita (Konstitusi O.Carm II.2).
Dari kenyataan ini dapat kita katakan bahwa “cara kita memperlakukan manusia menunjukan sikap kita kepada Tuhan. Cinta kasih kita akan berarti mana kala menjadi berkat bagi orang lain. Rasul paulus pun mengajak kita semua “apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol 3:23).
Dalam hal ini Rasul Paulus mengajarkan kepada kita tentang ‘kesadaran bahwa tindakan kita ditujukan kepada Tuhan memotivasi kita untuk melakukan yang terbaik.
Amatlah penting sungguh-sungguh memperhatikan hal ini. Kalau cinta kasih kita terhadap sesama sempurna, maka semuanya akan beres...... Sebab, bagaimana mungkin anda dapat mengatakan bahwa anda “mencintai Tuhan, Allah ‘yang tidak anda lihat, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”, sedangkan sesamamu manusia yang dapat engkau lihat saja, tidak dapat engkau cintai.
Meskipun demikian tetaplah kita ingat bahwa “Cinta kasih kita hendaknya berakar dan besumber pada Allah, “yang dibatinkan melalui suatu proses yang terus-menerus dalam mengosongkann diri kita dari segala bentuk egosentrisme-baik dalam diri pribadi maupun dalam kelompok, sehingga kita dapat memusatkan diri seutuhnya pada Allah (Konstitusi O.Carm Bab III.30).
Contoh konkritnya: melalui pengalaman doa dan membaca serta merenungkan Firman Tuhan. Sehingga seluru perbuatan cinta kasih kita menjadi rahmat bagi orang lain, karean semuanya itu mengalir dari pengalaman akan Allah. ...... Sebab, saya sungguh-sungguh yakin mengingat kejahatan kodrat kita, jika cinta kita terhadap sesama tidak berakar dalam cinta kita terhadap Allah, maka kita tidak pernah akan menghayatinya dengan sempurna (PB.V.3.9).
Orang-orang yang benar-benar mencintai Allah, mencintai tiap hal yang baik, mendambakann tiap hal yang baik, mengembangkan tiap hal yang baik dan memuji tiap hal yang baik. Mereka selalu bergabung dengan orang-orang baik, menguntungkan dan membelah orang-orang yang baik. Mereka tidak mempunyai cinta kasih terhadap apa pun terkecuali terhadap kebenaran dan apa yang layak dicinta (JK.XL.3).
St. Teresia sudah banyak mengajarkan kita, bagaimana menghayati kebajikan cinta kasih ini dengan baik. Sebagai seorang yang mengajarkan tentang hal cinta kasih, St. Teresia tidak hanya sekadar hidup pada dunia ide, melainkan semua ide ini dikonkritisasi dalam penghayatan hidup kesehariannya.
Hal ini nampak dalam penghayatan hidupnya terhadap firman Allah. Menarik bahwa Yesus pernah menasihati murid-muridNya “apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatkannya kembali.
Jika ia tidak mendengar engkau bahwalah seseorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disingsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai”(Mat 18:15-17).
Dan perintah yesus ini di sederhanakan kembali oleh St. Teresia sesuai kebutuhan zamannya. Dimana “hal serupa terjadi semasa hidup St.Teresia Avila, ketika ia harus menghadapi suster-suster yang menderita penyakit “hidup tidak tertip”.
St. Teresia mengunakan pengobatan yang membuat orang-orang ini tunduk melalui cara-cara dan sarana apapun yang mungkin... Dan ini dilakukan dengan penuh cinta Kasih ”jika kata-kata tidak cukup, pakailah hukuman, jika hukuman ringan tidak cukup, pakailah yang lebih berat, jika satu bulan dalam sel penjara tidak cukup, cobalah empat bulan.
Tidak ada yang tidak baik bila dilakukan untuk kebaikan jiwa mereka. Karena ini penting agar orang yang sakit ini sendiri mengerti hal ini walaupan terkadang mereka tidak dapat menolong diri mereka sendiri.
Adalah belaskasihan Tuhan yang besar kepada orang yang menderita penyakit ini bila mereka dapat tunduk kepada seseorang yang akan membimbing mereka melalui bahaya tersebut bagi jiwanya, karena di situlah terletak kebaikan bagi mereka” (Pendirian Biara-biara Pertama Bab 7. 4).
Atau dengan kata lain “Jika di ada seorang YUDAS di antara kamu, maka: bebaskanlah dirimu dari penyakit sampar ini! Potonglah cabang-cabangnya sedapat mungkin, dan kalau hal ini belum cukup, cabutlah akar-akarnya! Dan kalau hal ini pun tidak bermanfaat, jangan biarkan suster yang melibatkan diri dengan hal-hal ini meninggalkan sel tahanannya.
Hal itu jauh lebih baik dari pada memberikan penyakit yang begitu sulit diobati menulari semua suster. Ah, betapa dasyatnya keburukan itu! Tuhan menjauhkan kita dari biara, di man keburukan itu masuk! Saya lebih senang biar itu dimakan api dan semuanya terbakar (JK.VII.11).
St. Teresia adalah orang kudus yang sangat cekat dalam menyelesaikan masalah terutama berkaitan dengan kekeringan rohani yang dialami oleh saudara sekomunitasnya. Ajarannya sangat brilian sehingga tidaklah salah Gereja memberikan gelar sebagai seorang Pujangga dalam hal mistik.
Namun semua kebajikan-kebajikannya itu, tidak terlepas dari pengaruh latarbelakang kehidupan keluarganya yang penuh diwarnai dengan cinta kasih. Dengan itu dia mengingatkan kepada kita bahwa “suasana/lingkungan penuh kasih bagaikan tanah subur bagi tumbuhnya kebajikan-kebajikan.(JK. 7.4).
Tentu pengalaman ini telah dialami oleh Teresia sendiri dalam keluarga dan komunitasnya. Dan hanya tangan yang terbuka, yang bisa menerima hadiah dan juga hanya hati yang terbuka yang dapat menerima cintaNya.
Saudara kita telah belajar banyak hal tentang cinta kasih dari St. Teresia Avila, untuk itu mengakiri tulisan ini saya mengucapkan terimah kasih kepada Tuhan dan juga anda yang telah menbaca serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Teori tidaklah cukup kita harus melakukannya. Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian juga iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.*
Artikel ini ditulis oleh Fr. Wilibaldus Rade O.Carm.
COMMENTS