Penjelasan mengenai kedudukan Yesus sebagai Anak Allah dijelaskan sebagai detail oleh Penginjil Yohanes.
![]() |
Sumber: rec.or.id |
Penjelasan tentang Yesus sebagai Sabda Allah agaknya lebih relevan kalau didudukan dalam konteks penulisan Injil Yohanes. Bahwa Injil Yohanes ditulis pada zaman yang lebih canggih, yaitu ketika Kabar Sukacita itu hendak diwartakan dan disebarkan ke Yunani.
Namun pada dasarnya istilah ini mempunyai bobot dan kadar yang sama bagi orang Yunani maupun Yahudi. Berpangkal dalam tradisi Ibrani, Yohanes merumuskan gagasan yang mampu mengetuk hati para pembaca untuk dipakai masyarakat luas, terutama dalam dunia Yunani.
Oleh karena itu, pemahaman mengenai Yesus sebagai Sabda Allah hendaknya direnungkan dari perspektif Yahudi, baru kemudian dilihat akibatnya dalam latar belakang Yunani.
Yesus sebagai Firman/Sabda (tradisi Yahudi)
Bagi orang Yahudi, Firman bukan sekedar suara, melainkan suatu kekuatan, dinamik, dan daya kreatif yang sangat efektif. Firman bukan hanya menyatakan sesuatu, tetapi juga melaksanakan sesuatu. Selanjutnya pemahaman mengenai istilah ini mengalami perkembangan. Di sini bisa diuraikan singkat tentang perkembangan itu.a) Dalam Perjanjian Lama, Firman yang kreatif itu dinyatakan oleh Firman Allah sendiri dalam penciptaan. Drama penciptaan itu diawali dengan Allah yang berfirman. Melihat latar belakang ini, maka sebutan Yesus sebagai Firman bagi orang Yahudi berarti Ia adalah kekuatan dinamis Allah yang menciptakan. Ia bukan sekedar “suara Allah” yang menyerukan kehendak-Nya.
b) Dalam perkembangan selanjutnya, ide tentang Allah dalam tradisi Yudaisme semakin dilihat dalam hal keunggulan, keagungan, transendensi-Nya. Allah menjadi begitu jauh. Dengan demikian Firman (Memra) menjadi “wakil” pribadi itu. Dalam kisah Musa, Yahweh tidak bisa ditemui, maka Firman Yahweh menjadi pengganti diri Yahweh. Dalam kaitan dengan Yesus, Ia dikatakan sebagai Firman karena Ia menunjukkan Allah yang tak terjangkau itu.
c) Kemudian Firman dihubungkan dengan kebijaksanaan. Firman bukan saja kata-kata, teori, melainkan juga pertimbangan, keputusan praktis mendapatkan kebijaksanaan. Ini berarti mendapatkan pengertian (Amsal 4:7). Kebijaksanaan memiliki cirri bersama Allah, mempunyai pra-ada dalam Allah, sebelum segala-galanya tercipta.
Yesus (sebagai) Logos (tradisi Yunani)
Pengertian logos dalam lingkungan Yunani juga begitu luas seperti dalam dunia Yahudi. Logos bukan hanya berarti kata, melainkan juga berarti budi dan nalar. Hubungan antara kata-budi-nalar-hati inilah yang memungkinkan dunia Yahudi bertemu dengan dunia Yunani. Yudaisme menyumbangkan gagasan bahwa Firman itu dekat dengan Allah, dan Firman itu amat berperan dalam ciptaan.Penginjil Yohanes mewartakan hal itu dengan merumuskan gagasannya dalam kategori Firman yang juga memiliki kadar yang sama, walau ada perbedaan dengan orang Yunani. Di sini kita melihat bagaimana pemahaman tentang logos berkembang dalam dunia Yunani.
a) Pertama ditegaskan seperti rumusan di atas, yaitu bahwa logos berarti ganda: kata (segi lahiriah) dan budi, nalar (segi batiniah/isi). Arti ini mau menekankan bahwa sabda Yesus (rumusan, lahiriah) yang berisi pewahyuan ilahi (batin).
b) Gagasan tentang logos dalam filsafat Yunani muncul pada Heraclitus (abad VI SM) yang hidup di Efesus, seperti Yohanes. Heraclitus melihat dua prinsip dalam dunia/semesta. Pertama, prinsip perubahan. Semua yang ada di alam semesta adalah mengalir.
Semua kembali, silih berganti, dan tidak ada satupun yang tetap. Hidup adalah perubahan. Kedua, prinsip kembali sama. Walau berubah, tetapi dunia tetap menghasilkan yang sama. Jagung, misalnya, berkembang menjadi batang, namun tetap membuahkan jagung. Ini mengafirmasikan bahwa dalam alam ada aturan. Dan apakah yang mengatur perubahan itu? Itulah logos.
c) Ide tentang logos berpuncak dalam filsafat Stoa, yang amat berpengaruh pada masa itu. Konsep dasar filsafat Stoa adalah “segalanya ilahi”. Allah sendiri adalah Roh murni tak terhingga. Kekuatan ilahi tidak selalu berkadar sama, bahkan ada yang kehilangan dayanya.
Inilah yang kemudian menjadi berat, kurang gesit, lalu menjadi materi, namun tetap ilahi. Dan hidup sepenuhnya adalah pijar Roh murni Allah itu. Kaum Stoa amat terpesona pada aturan alam yang pasti, serasi dan indah.
Kenyataan ini bukan hasil sembarangan. Alam semesta berjalan seperti ditata dalam drama, para pelaku mengungkapkan kehidupan drama itu dengan cra dan gayanya, tetapi ada satu sutradara yang mengatur segalanya. Di dalam alam semesta terkandung satu maksud. Maksud itu adalah maksud ilahi, logos.
Logos itu merasuki alam semesta sebagai jiwa yang member hidup dan gairah di dalamnya, seperti juga dalam diri manusia. Logos-lah yang mengatur segalanya, sehingga tercipatalah kosmos. Logos sebagai maksud ilahi menguasai seluruh alam semesta dan manusia sehingga ia memiliki peranan penting dalam hidup ini.
d) Pemahaman tentang logos juga dipengaruhi oleh pemikiran Philo dari Alexandria (abad II SM). Dalam pemikirannya, logos adalah “citra Allah“, dan secara isitmewa menjembatani hubungan manusia dengan Allah. Logos adalah sarana penciptaan, budidaya Allah yang tercetak pada alam semesta. Philo menemukan bahwa di dalam logos itu semua ciptaan mempunyai dasar adanya. Terakhir ia merumuskan logos adalah sarana komunikasi Allah dengan manusia.
Beberapa Rumusan Pokok
1) Firman adalah saran komunikasi; lewat kata-kata seseorang menjalin hubungan antarsesama dan dengan kata-kata orang menyampaikan gagasan. Di dalam pribadi Yesus, Allah berfirman kepada manusia, sekali untuk seterusnya (Yoh 1:14;17:6-8). Yesus menjadi “pesan Allah bagi manusia.2) Firman adalah pewahyuan. Secara sederhana dimengerti bahwa firman itu rumusan atau ungkapan gagasan, pikiran. Yesus adalah ungkapan pikiran dan perasaan Allah. Maka ia juga merupakan kehendak Allah.
Di dalam diri Yesus orang Kristen menangkap pewahyuan atau pernyataan diri Allah, karena firman atau sabda-Nya mempunyai kadar hidup kekal. Dalam sabda dan perbuatan Yesus orang menangkap apa yang dirasakan dan dimaksudkan Allah; sekaligus memahami perhatian Allah yang amat pribadi. Dalam Perjanjian Lama Allah terasa sangat jauh dan tinggi, namun dalam Yesus, Allah menjadi dekat sekali.
3) Firman itu adalah menciptakan, menumbuhkan, menghidupkan. Ia menggairahkan, tetapi juga mematikan (bdk. Yoh 1:3). Budi dan hati yang terumus dalam kata-kata membuat hidup menjadi subur, produktif. Bisa juga dikatakan bahwa firman Allah yang mencinta akhirnya juga menjadi firman yang mencipta; firman yang menebus adalah firman yang memiliki segalanya.
Ini membuat orang menjadi sadar bahwa hidup ini ternyata baik, lalu ia memahami bahwa karya Tuhan terlaksana sepanjang sejarah hidupnya. Itu berarti bahwa kasih Allah itu sama, baik menyelamatkan maupun menciptakan kasih adalah patokannya. Bila Sang Firman (Yesus) sama bagi penciptaan dan penyelamatan, maka Firman itu menjadi “Terang” dalam kegelapan.*
Sumber: St. Darmawijaya. Gelar-Gelar Yesus. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
COMMENTS