Cerpen tentang kisah seorang TKW yang disekap majikannya di Malaysia.
![]() |
| Kredit: kbr.id |
Suara tangis Anggi terngiang-ngiang di udara tanpa sebutir molekul hidrogen yang menyekap tangisan itu. Sekitar pukul 23.00 Anggi dibekap oleh majikannya di katakombe beraroma pengap. Sedang kemewahan dan kegemerlapan berkilauan di atas lantai, dinding dan langit-langit hotel itu. Ia menangis hingga rasa haus mulai meradang tenggorokannya. Tangisannya hanya didengar dinding pekap. Dan lebih sadis, sekujur tubuhnya telah dirajam, digerayangi, dan diperkosa oleh majikan yang tak bernurani itu. Sebenarnya sudah lama ia sadar kalau tuannya itu tidak lebih baik dari pecundang.
Semula Anggi bekerja biasa-biasa. Ia diperlakukan sangat baik dan ramah. Entah roh jahat atau makhluk asing apa yang merasuki majikannya yang menyebabkan situasi berubah seratus delapan puluh derajat. Kompas perubahan itu seolah tak lagi mengenal hak-hak asasi kemanusiaan. Pribadi Anggi telah dikonversi menjadi objek, bukan pekerja yang layak. Ia mulai mengalami degradasi martabat kemanusiaan itu sejak krisis moneter melanda keluarga majikannya. Kurs mata uang Malaysia (Ringgit) terhadap dollar Amerika (USD) meloncat secara eksponensial.
***
Tak lebih dari usia 15 tahun Anggi direkrut oleh Rizki, seorang pemuda kampung yang ditengarai merupakan agen sebuah perusahaan jasa tenaga kerja luar negeri. Nama perusahaan itu adalah PT Mutiara Hijau. Perusahaan itu memunyai cabang di Kupang. Dari namanya bisa ditafsir bahwa sasaran kerja mereka adalah merekrut tenaga kerja muda, terutama gadis-gadis hijau yang lugu.Anggi masih sangat belia.
Namun ia punya kekuatan untuk bekerja di luar rumah. Terdorong oleh realitas kemiskinan keluarga dan tekad untuk menyekolahkan adik-adiknya, ia nekat keluar rumah. Sementara orangtuanya pun tidak berkata apa-apa. Kondisi sulit memaksa mereka mereduksi tradisi yang hanya memperkerjakan laki-laki di luar rumah. Setelah tiga bulan di Jakarta menjalani training dan kursus bahasa asing, ia berpisah dengan teman-teman kebanyakan.
Oleh perusahaan, ia ditempatkan di Kuala Lumpur, Malaysia sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Sementara yang lain tersebar ke beberapa negara di Asia Tenggara, Hongkong, Eropa dan Amerika. Di Jakarta sewaktu menjalani masa inkubasi, identitas Anggi diubah. Namanya menjadi Sity Astiqah, termasuk umurnya dikonversi menjadi 21 tahun walau sebenarnya umurnya amat belia.
Bulan-bulan awal berada di tempat kerja, Anggi masih membayangi wajah kedua orangtua dan sanak keluarganya, walau setelah melewati hari-hari menggelisahkan itu, ia bisa berkonsentrasi penuh pada dunianya yang baru. Ia sesekali berusaha menepis bayangan itu. Nihil. De facto, semakin ia konsen terhadap dunia barunya, seolah seluruh jiwanya terhempas keluar dinding-dinding beton berbintang itu.
Wajah ayahnya kini terpampang jelas. Ia masih ingat baik setahun sebelum keberangkatannya. Ada wacana bahwa kebun dan lahan garapan masyarakat di kampungnya akan digunakan oleh satu perusahaan untuk menambang batubara. Berkat perizinan dari pemerintah setempat, masyarakat tidak perlu enggan untuk melepaskan lahan-lahan itu.
Ia sungguh merekam satu ‘janji suci‘ Bupati mereka yang datang ke kampung hendak bersosialisasi. Bupati itu berjanji bahwa lahan itu tidak sia-sia. Hasil pengolahan tambang di atas lahan itu kemudian akan menjadi devisa bagi daerah. Untuk kesejahteraan masyarakat umum, terutama masyarakat yang berhak atas lahan itu. Entah itu hanya sebuah jargon atau memang satu kaul, ia kurang mendalaminya. Yang ia ingat betul adalah hari di mana lahan itu mulai digusur dan dibuka resmi untuk pertambangan batubara.
Wajah sang Ayah sembab tak keruan menyaksikan pohon-pohon kopi, kakao, cengkeh, pala, dan kemiri jatuh berantakan. Air mata seolah mengering di pelupuk mata. Tak tega terus melihat hak ulayatnya dipugar, sang Ayah pulang ke rumah.
Hati tercenung. Langit pun ikut merenung.
Tidak beda dengan sang Ibu. Walau ia tidak melihat langsung penggusuran itu, tetapi hatinya berbicara lebih lantang dari sekedar menangis. Seluruh jiwanya bukan saja menangis. Namun lebih dari itu, ia sadar bagaimana harus memulai satu kehidupan tanpa lahan, tempat di mana mereka menggantungkan keberlangsungan hidup. Sedang anak-anak mereka masih kecil. Anggi sebagai yang tertua baru kelas dua SMP. Hatinya hangus. Jiwanya tercabut.
Waktu tidak berjalan di tempat. Anggi harus fokus pada pekerjaannya. Ia digaji dengan layak. Kehidupannya dibaharui. Namun dalam hati ia selalu mendaraskan syair doa untuk orangtua dan keluarganya. Rosario senantiasa terlilit di lehernya. Jika ia berdoa – di kamar ia sendirian – mulutnya komat-kamit seperti mengucapkan mantra sakti berjam-jam.
Di tahun ketiga, batinnya semakin kuat dan aman. Namun memasuki tahun keempat situasinya berubah.
Suatu malam majikannya (laki-laki) pulang kantor tidak seperti biasa. Ia memilih untuk mengundurkan kepulangannya ke rumah. Sebagai pembantu rumah tangga, Anggi sudah siap menjamu orangtu asuhnya itu. Masakan terlezat siap dinikmati keluarga.
Tak dinyana, tepat pukul 21.00 pintu diketuk dengan sangat keras. Terburu-buru Anggi membuka pintu. Lelaki itu tanpa bicara banyak langsung menyerbu dan menggerayang tubuh Anggi. Ia meremas-remas payudara yang ranum dan montok itu. Tanpa melawan, Anggi berpasrah.
Dalam hati ia berteriak. Memberontak.
Apa daya, kehidupannya digenggam lelaki itu. Lama lelaki itu menikmati ‘keperawanan’ tubuh Anggi. Seperti dibakar, tubuh Anggi siap untuk gosong. Tidak puas dengan permainan itu, ia menyumpahi-nyumpahi Anggi. Anggi mulai dirajam, dipukul, dan ditendang. Tanpa alasan. Istri dan anak-anaknya hanya diam seolah mengiyakan. Kejahatan paling sadis adalah melakukan pembiaran sedang ada peluang untuk menyelamatkan. Karena terlalu lelah, lelaki itu ‘rehat‘ sekedar menimba tenaga baru.
Dua jam berlalu. Lelaki itu kembali beraksi. Ini yang terakhir. Ia menyumpeki mulut Anggi dengan kain. Anggi digiring ke katakombe keluarga yang selama ini menjadi tempat penyimpanan rongsokan. Tempat itu berbau busuk. Seperti domba yang dibawa ke pembantaian, Anggi menuruti hasrat lelaki itu dengan separuh martabat yang telah hilang. Ia disekap selama sebulan di sana. Tiap hari diantar kepadanya makanan sisa dari meja tuan. Ia sudah seperti anjing.
Satu malam lain tiba. Udara terasa dingin. Begitu hening rumah itu. Lampu-lampu baru dinyalakan sebagian rumah. Ada lorong-lorong yang gelap.
Tiba-tiba pintunya diketuk. Bayangan orang yang masuk itu tidak terlalu besar. Ia berpikir itu bukan lelaki itu. Benar dugaannya. Sheun Ling, anak dari lelaki itu yang tiap hari mengantarnya makanan, merangkak masuk. Langkahnya pelan dan terhenti. Anggi menunggu tanpa bersuara. Anak itu mendekati Anggi lalu melepaskan ikatan terali di tangan dan kakinya. Anak itu tidak bicara apa-apa. Tidak lama ia menghilang kembali. Pintu ditutup tidak rapat. Itu artinya ia memberikan kesempatan kepada Anggi untuk berbuat sesuatu. Dengan langkah gontai Anggi bergerak menuju pintu. Dibukanya pintu itu. Ia melongok keluar. Tidak ada orang. Inilah saatnya saya harus kabur. Ia membatin.
Kerangka logis pikirannya purna. Ia cepat-cepat menyusup melewati lorong gelap. Bersembunyi di antara bunga-bunga yang rimbun. Dalam otaknya yang tersisa adalah kantor kedutaan Indonesia. Di manakah letaknya. Persis saat itulah ia begitu jelas mengingat di mana kantor itu berada. Dengan berjalan kaki sambil berlari-lari kecil, ia menuju tempat itu. Di sanalah nasibnya ditentukan lagi dari awal. Sang Dubes menerimanya.
Namun selang beberapa hari, mereka di kedutaan seolah cuek dengan gadis itu. Anggi lagi-lagi ditelantarkan. Ia merasa hidupnya harus selesai. Akal sehatnya pupus. Mungkin ini takdir saya, Tuhan. Ia berkeluh pada Sang Khalik. Setelah keluar dari kantor kedutaan, ia menabrakan dirinya pada sebuah mobil yang sedang berlari kencang. Hidupnya usai. Tidak ada orang yang mengurus jenasahnya. Padahal uang hasil pekerjaannya telah dikirim ke rekening pemerintah sebagai devisa negara. Sedang orangtuanya di kampung menunggu kirimannya sekedar membeli beras dan ikan kering.
Kisah Anggi terlewat seperti banyak yang lain. Suaranya tak pernah sampai ke telinga mereka seperti ‘menyerang dinding yang miring‘. Ia tenggelam bersama hidupnya yang telah terkubur.*
Lembah Karmel
Januari 2016

COMMENTS