St. Albertus pemberi Regula Ordo Karmel memiliki kebijaksanaan istimewa dalam membentuk spiritualitas hidup pada Karmelit hingga saat ini.
![]() |
Para frater Karmel di Gereja MBK Jakarta. Dok. pribadi. |
Tak terasa peziarahan para Karmelit sudah memasuki usia yang sangat tua. Delapan ratus tahun bukanlah rentang waktu yang pendek. Bila ditakar dari usia manusia biasa, waktu 800 tahun merupakan masa di mana tulang-tulang yang terkubur sudah menjadi abu-tanah. Memang daging manusia tidak pernah kekal seperti tanah. Sebab tubuh manusia akan bersatu dengan alam leluhurnya, adamah.
Pada tahun 2014, Ordo Karmel merayakan “800 Mengenang Kemartiran St. Albertus”. Perayaan itu sebenarnya sekaligus juga merupakan perayaan kenangan akan cikal-bakal, asal-usul dan pelbagai landasan tua tentang: apa, siapa dan bagaimana para Karmelit itu sendiri.
Tentang apa yang menginspirasi para Karmelit awali (pertapa dan pezirah) untuk merasa bersatu sebagai orang yang tak mau terpisah dari kehadiran yang lain. Termasuk di dalamnya apa yang melegitimasi kebersatuan mereka di tengah usaha untuk mencari ketenangan dan kemapanan batin secara pribadi. Juga tentang siapa yang mampu menyatukan keberagaman mereka: perbedaan sosial-ekonomi, budaya, politik dan terlebih lagi rasa keterasingan eksistensial dalam diri mereka. Atau tangan siapakah yang mampu menuntun mereka sehingga mendapat privilese Gereja universal.
Pertanyaan lain yang tidak kalah aktual: bagaimana para Karmelit awali bertahan hidup di tengah gempuran bangsa Sarasin dan kondisi alam Palestina yang kering-tandus-tak berair. Memang ada sumur tua Elia, tetapi sebenarnya sumber air itu telah menjadi karang.
Situasi perang salib yang sedang mengamuk, juga turut membentuk identitas dan kompas pergerakan spiritualitas mereka. Atau hal yang sering dilupakan adalah pertanyaan menyangkut bagaimana mereka, sebagai orang-orang yang hampir seluruhnya mengalamai gangguan kejiwaan (depresi, stres) bisa bangkit dari keterpurukan untuk meriah sebuah cita-cita yang lebih luhur dari sekedar ‘menghibur diri’ dengan bertapa.
Kenangan akan kematian St. Albertus Avogadro, pemberi Regula Karmel, juga menafikan satu pernyataan penting tentang bagaimana Regula yang tampak uzur itu menjadi semakin relevan dan kontekstual dengan situasi dan kondisi sekarang ini yang ditandai oleh perkembangan perdaban manusia yang makin mentereng.
Kepesatan penemuan teknologi super-canggih, perubahan paradigmatis sikap para Karmelit terhadapnya, seolah menjadi problem aktual yang membumbui pengaburan makna spiritualitas Regula. Term Regula: yang tua, yang aktual, merupakan seruan untuk melihat, membaca dan menghayati kembali keutamaan-keutamaan dan kekayaan spiritual yang terkandung di dalamnya; suatu usaha untuk merevitalisasi nilai spiritual dan kebijaksanaan Regula.
Tepat tanggal 14 Spetember 2014 Ordo Karmel mengenang 800 kematian sang bijak St. Albertus. Namun Gereja menetapkan peringatannya pada tanggal 17 September, tiga hari sesudahnya.
Di sebuah wilayah yang letaknya jauh ribuan kilometer dari Palestina, tepatnya di Komisariat Karmel Indonesia Timur, diadakan sebuah ritus khusus untuk menghormati leluhur mereka.
Di sebuah kapela darurat, yaitu aula yang ditata semacam kapela berhubung kapela agung sementara direnovasi, segenap komunitas Karmel Komisariat Intim merayakan Ekaristi bersama. Sebuah kesadaran universal bahwa mereka dilahirkan dari rahim yang satu.
Hadir pada perayaan itu beberapa komunitas Karmel maupun komunitas dari kongregasi yang berafiliasi dengan Karmel. Ada komunitas frater Beato Dionysius Wairklau, komunitas Novisiat Nita, komunitas post-pastoral Beato Redemptus Nita, komunitas rumah Komisariat. Juga hadir para Karmelit (romo) dari komunitas paroki Salib Suci Mauloo, komunitas Seminari KPA St. Paulus Mataloko, komunitas rumah retret Nabi Elia Mageria, dan komunitas SMAK Alvares Paga.
Demikian juga ada beberapa kongregasi dan paguyuban yang berafiliasi dengan Karmel. Sebut saja komunitas Susteran DST Maumere, Susteran O. Carm Kewapante, komunitas TOC Wairklau, TOC Nita, kelompok KTM Maumere, kelompok Skapulir Habibola, dan terakhir adik-adik dari kelompok Sahabat Karmel Maumere.
Perayaan Ekaristi dipimpin langsung oleh Rm. Telesforus Jenti, O. Carm, selaku Romo Komisaris dan didampingi oleh Rm. Vinsen D. Betu, O. Carm, anggota Dewan Komisariat dan Rm. Johanes Kopong, O. Carm, Direktur Studi komunitas frater Karmel Wirklau. Perayaan ini juga didukung oleh kemeriahan nyanyian yang dibawakan oleh para frater dari komunitas Novisiat Nita.
Alunan nada yang harmonis pun turut membentuk suasana kekhusyukan dan keagungan misteri perayaan yang penuh rahmat ini. Perayaan Ekaristi sendiri dimulai pada pukul 16.00 WITA dan berlangsung kurang lebih sampai dengan pukul 15.30 WITA.
Selesai perayaan Ekaristi agung, atas arahan dari Romo Komisaris sendiri, semuanya menuju kamar makan fraters Biara Karmel Wairklau untuk sekedar merasakan tali persaudaraan dan cita rasa sebagai Karmelit dengan minum bersama. Selain disuguhkan snack dan minuman, juga ada kolak buatan para frater. Acara ramah-tamah ini berlangsung lama.
Semuanya kelihatan asyik bercengkerama, ngobrol dan berbasa-basi seadanya. Wajah sumringah nyata sekali tampak pada para Karmelit muda yang melihat perisriwa seperti ini amat langka dibuat.
Memang, sejauh pengalaman saya saat itu, reuni atau pertemuan akbar para Karmelit jarang dilakukan, kecuali ada kegiatan HSK yang dilakukan hampir rutin setiap tahun. Sehingga bagi kami pengalaman dan peristiwa ini layaknya mesti dimaknai dalam bingkai kacamata yang lebih kompleks. Bahwa cita rasa sebagai kerabat dalam Karmel tidak mesti dilihat dari intensitas dan frekuensi pertemuan yang rutin, tetapi lebih pada bagaimana sebagai Karmelit muda merasa ‘ada’ di antara yang lain.
Romo Jenti, O. Carm, dalam kata pembukanya mengatakan bahwa adalah penting untuk mengenang peristiwa sejarah masa lalu yang terjadi dalam Ordo Karmel. Karena melupakan sejarah sama dengan mengoyak identitas kekinian Karmelit.
Santo Albertus yang terkenal dengan kegigihannya memperjuangkan iman di tanah suci menjadi tokoh sejarah yang patut diteladani. Ia tidak pernah takut menghadapi bahaya maut atau ancaman bernuansa politik yang sedang bergejolak di tanah kelahiran Sang Guru. Albertus, sang guru iman, adalah sosok paling relevan untuk kehidupan para Karmelit zaman sekarang.
Pernyataan beliau ini sebenarnya berangkat dari refleksi atau intisari dari pelaksanaan Hari Studi Karmelitana (HSK) VIII yang terjadi pada tanggal 1-3 Juli 2014 lalu. Di mana pada HSK tersebut diangkatlah tema: “Menghidupi Spiritualitas Karmel Yang Tanggap Zaman”, yang berpijak pada refleksi mengenai kemartiran St. Albertus.
Tema ini memuat tiga sub-tema penting, yaitu: pertama, mengenai bagaimana spiritualitas Karmel itu tanggap terhadap perubahan paradigma yang terjadi dalam kebudayaan lokal maupun mondial. Atau dengan kata lain, mampukah spiritualitas Karmel merangsek masuk serentak mengangkat nilai dan kekayaan budaya lokal demi perwujudan iman umat yang lebih aktual dan berpusat pada Yesus Kristus.
Kedua, sub-tema mengenai kepekaan spiritualitas Karmel terhadap realitas kemiskinan yang merongrong kebanyakan masyarakat marginal. Dapat dikatakan bahwa apakah spiritualitas Karmel yang kontemplatif itu mampu mendorong para Karmelit untuk berada bersama dengan umat yang miskin-terlantar. Atau jangan-jangan, para Karmelit hanya melihat mereka dari balik kaca spion, artinya melihat orang-orang itu hanya dengan mata sebelah.
Dengan kata lain, bukannya mendorong umat keluar dari ketertekanan, malah menelantarkan umat dengan tidak mau memberi muka.
Sub-tema ketiga adalah tentang bagaimana spiritualitas Karmel melakukan dialog dengan umat dari agama-agama lain. Atau untuk menjadi efektif, bagaimana spiritualitas Karmel itu mampu berdialog dengan tetangga, umat sekitar dan umat-umat lain yang dipimpinnya. Mampukah para Karmelit berdialog dengan mereka yang susah diajak pergi ke Gereja?
Bagaimana seharusnya seorang Karmelit berkomunikasi dengan dunia di luar tembok biara atau di luar komunitasnya?
Atau komunikasi telah menjadi tumpul, dan yang tertinggal adalah membenarkan diri dengan identitas spiritualitas yang kontemplatif; memilih tinggal di dalam biara atau komunitas tanpa melakukan kontak atau dialog dengan umat setempat.
Sub-sub tema yang diangkat di atas sebenarnya juga berangkat dari refleksi mendalam akan kepribadian dan kehidupan St. Albertus sendiri. Bahwa selama hidupnya di Yerusalem sebagai Patriakh, mendiang St. Albertus berhadapan dengan berbagai realitas indrawi yang tidak kalah bergejolak seperti dunia dewasa ini.
Tantangan yang datang dari kelompok pemberontak, realitas kemiskinan masyarakat Palestina akibat perang, dan karakter budaya setempat yang bertolak belakang dengan budaya Romawi, seolah menjadi sayuran pahit yang harus dimakannya bersama bangsa Yahudi. Namun realitas spiritual-metafisik peristiwa tersebut mengangkatnya pada satu penghayatan iman yang mendalam-tak tergoyahkan akan kebijaksanaan Sang Guru Sejati.
Bahwa Sang Guru tidak akan pernah melupakan mereka yang taat-setia kepada-Nya. Ia sangat gigih memperjuangkan keadilan bahkan sampai pada titik darah terakhir. Darahnya yang tersiram di bumi Palestina menjadi pupuk yang menyuburkan kehidupan umatnya, termasuk para Karmelit awali.
Sebagaimana darah Habel berteriak dari keganasan padang gurun, darah suci St. Albertus juga meneriakan kepada para Karmelit untuk memberikan diri secara penuh kepada Kristus, Sang Guru. Benih yang jatuh di tanah harus mati dahulu agar ia dapat tumbuh dan memiliki banyak buah, dan buahnya itu mesti tetap.
Hal yang hampir senada dikatakan oleh Rm. John Kopong dalam kotbahnya. Beliau mengatakan bahwa yang mesti dibuat oleh kita para Karmelit dewasa ini adalah mereorientasi penghayatan kita akan kekayaan spiritualitas yang terkandung di dalam Regula.
Karena berbicara mengenai sosok St. Albertus, dalam tradisi Karmel, tidak pernah terpisah dari Regula, yang merupakan buah dari luhurnya iman dan kesucian hidupnya. Regula dan kepribadian St. Albertus adalah sebuah padanan yang komplit, satu pribadi dari dua aspek yang berbeda. Kepribadiannya yang suci dan luhur itu dengan gamblang kita baca dalam isi dan nasihat-nasihat keutamaan yang terkandung di dalam Regula.
Keheningan, misalnya, merupakan satu kekayaan mendasar dan mesti menjadi identitas Karmelit. Bahwa dengan dan dalam keheningan, Allah berbicara kepada setiap pribadi. God’s speaks in silence. Itulah kira-kira ungkapan yang pas dalam Inggris. Juga mengenai ketaatan kepada Prior. Yesus telah menunjukkan ketaatan total kepada Allah.
Demikian para Karmelit, nilai ketaatan meruapakan spiritualitas yang paling mendesak. Karena tanpa ketaatan, yang terjadi adalah kekacauan. Kita ingat kisah pengadilan Yesus. Bahwa Yesus memilih diam bukan berarti Ia tidak pandai mengajukan pembelaan, tetapi karena Ia taat kepada kehendak Bapa-Nya. Diam itu damai.
Di lain pasal berbicara mengenai kerja (opus). Siapa yang tidak bekerja, janganlah ia makan, demikian St. Paulus menasihati. Karmelit mesti menjadi orang yang mandiri, kuat dan berintegritas. Bahkan dengan bekerja yang baik kita bisa memuliakan Tuhan melalui pekerjaan-pekerjaan itu, seperti juga yang pernah didengungkan oleh filsuf Hegel.
Lebih dari itu, dengan bekerja kita dapat menghindari masuknya kekuatan jahat ke dalam diri kita. Sebab setan, musuh kita, mengaum-ngaum seperti singa, dan ia akan merasuki mereka yang duduk tak bekerja. Dan masih banyak lagi kekayaan spiritualitas dalam Regula.
Yang tersisa adalah usaha kita untuk mampu menggali dan menghayatinya demi kehidupan kita sebagai Karmelit di masa kini. Spiritualitas Regula yang seolah telah ditenggelamkan oleh aneka tawaran dan kenikmatan duniawi, juga telah dikaburkan oleh perubahan paradigma akibat serangan Iptek, mesti direvitalisasi, agar keutamaan-keutamaan itu tidak ikut mengalir bersama arus perubahan.*
Wairklau, 22 September 2014
Peringatan St. Padre Pio dari Pietrelcina
sangat menarik
BalasHapus