Goenawan Soesatyo Mohamad atau yang biasa dikenal sebagai Goen atau GM adalah salah satu otkoh besar Indonesia di bidang sastra dan media.
![]() |
Goenawan Muhamad. |
Goenawan Soesatyo Mohamad atau yang biasa dikenal sebagai Goen atau GM adalah salah satu otkoh besar Indonesia di bidang sastra dan media.
Belakangan, Goenawan Mohamad (selanjutnya disebut GM) lebih dikenal sebagai seorang budayawan yang memberikan perspektif khas dan kritis terhadap persoalan-persoalan kebudayaan, sosial dan politik Indonesia.
Bagi masyarakat Indonesia dan dunia, GM adalah salah satu jurnalis dan seniman yang tidak pernah lekang oleh waktu; yang karya-karyanya senantiasa hadir relevan untuk membaca realitas masakini, alih-alih ia sendiri tetap produktif di usianya yang tidak lagi muda.
Di masa-masa tuanya, ia justru lebih banyak bergiat di bidang kesenian--alasan mengapa kami menyebutnya lebih sebagai "seniman" daripada sekedar sastrawan--sebagaimana telah menjadi cita-citanya kecil yang lebih suka melukis daripada menulis.
Lahir di Karangasem, kabupaten Batang, Jawa Tengah, pada 29 Juli 1941, GM adalah alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (tidak tamat) pada sekitar tahun 1959.
Nama GM sangat lekat dengan majalah Tempo. Selain sebagai pendiri, GM juga adalah pemimpin redaksi majalah yang terkenal sangat berani dan kritis dalam menginvestigasi berbagai kasus dalam negeri.
Tidak dapat dipungkiri, sejak pendiriannya, Tempo telah berulang kali dibredel pemerintah, terutama rezim Orde Baru, karena dianggap sangat vulgar menelanjangi kekurangan rezim saat itu.
Hingga kini, Tempo di bawah asuhannya, telah berjasa besar dalam memajukan peradaban jurnalisme investigatif Indonesia, yang setidaknya memengaruhi arah kebijakan pemerintah, serentak mengoreksi ketimpangan rezim.
Meski tidak lagi aktif di dunia keredaksian, GM kini masih menjabat sebagai salah satu Komisaris Utama PT Tempo Inti Media. Kontribusi dan ekosistem yang diciptakan di media terbesar Indonesia itu telah banyak memberi inspirasi kepada wartawan-wartawan muda.
Selama berada di Tempo, GM tidak hanya sekedar menulis varian kegiatan jurnalistik, tetapi sebagai seorang akademisi, ia menelurkan goresan-goresannya itu dalam kolom khusus yang diberi nama "Catatan Pinggir".
Tulisan-tulisan tersebut telah dibukukan pada tahun 1982. Tahun 2012, buku tersebut kembali dirilis 9 jilid sekaligus. Ini menunjukkan bahwa GM termasuk salah seorang intelektualis yang produktif dan kreatif.
Pimpin Tempo di Usia Muda
GM mengawali kariernya sebagai wartawan dengan menjadi Redaktur Harian KAMI (1969-1970), Redaktur Majalah Horison (1069-1974), hingga Pemimpin Redaksi Majalah Ekspres (1970-1971) dan Pemimpin Redaksi Majalah Swasembada (1985).Puncaknya, ia bersama kawan-kawannya mendirikan Majalah Tempo pada tahun 1971 dan serentak didaulat menjadi pemimpin redaksi. Saat itu, ia masih berusia 30 tahun; sangat muda untuk ukuran seorang pemimpin redaksi pada media besar.
Sayangnya, GM hanya menghirup kesegaran jabatannya selama dua tahun sebelum majalah Tempo dibredel rezim. Tempo pertama kali dibredel selama 21 tahun, yaitu pada 1971-1992. Tahun 1992-1994, Tempo kembali terbit sebelum akhirnya lagi-lagi diberhentikan rezim pada tahun 1994. Pasca kejatuhan Soeharto di tahun 1998, barulah Tempo kembali terbit. GM memimpin kembali hanya setahun dan menyerahkan ke Bambang Harymurti.
Untuk memayungi perjuangannya akibat terus dibredel rezim, GM bersama para jurnalis muda idealis pun mendorong lahirnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI). GM juga mendirikan Institusi Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia yang kemudian juga memberikan pelatihan tentang tata cara membuat surat kabar berkualitas.
Karena ketekunan di dalam kajian jurnalisme investigasi yang mendalam dan komprehensif, GM pernah menerima penghargaan Louis Lyons dari Harvard University Amerika Serikat.
Jadi Seniman Produktif
Selain aktif di dunia jurnalistik, GM juga aktif di berbagai kegiatan budaya dan seni. Telah banyak karya sastra dan praktik-praktik kesenian yang dihasilkan dari goresan tinta dan cat pada kanvas putih serta panggung pertunjukan.Boleh dibilang, GM adalah seorang wartawan yang justru sangat produktif di bidang kesenian. Kesenian dalam konteks ini terbagi ke dalam beberapa bentuk, antara lain: seni rupa yang mencakup seni lukis hingga patung; seni suara seperti musik; seni sastra mulai dari cerpen hingga novel; dan seni pertunjukan seperti teater.
Sebagai seorang seniman, GM telah banyak menulis puisi, esai, novel, cerpen, karya lukis, patung hingga aneka pertunjukan teater. Bahkan, GM bukan hanya menulis naskah teater, tetapi terlibat juga sebagai sutradara teater.
Saat ini, selain menjadi komisaris di perusahaan Tempo, GM juga terlibat sebagai salah satu tokoh sentral dalam manajemen Komunitas Salihara, yaitu sebagai pendiri. Di komunitas tersebut, bersama dengan sastrawan kontemporer Ayu Utami, mereka sering menjadikannya sebagai forum untuk diskusi dengan mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, dan sebagainya.
Hasilkan Puluhan Karya Sastra
Ada banyak karya sastra yang dihasilkan dari tangan dingin seorang GM sejak masa mudanya hinga sekarang ini. Bakat kepenulisannya itu dimulai dengan menulis bait-bait puisi.Menurut penelusuran sastrawan Ayu Utami dkk, GM telah mulai merintis minatnya dalam bidang sastra pada usia 20 tahun, yaitu pada tahun 1961. Saat itu, GM menerjemahkan puisi Emily Dickinson ketika masih SMA dan dimuat Harian Abadi.
Sejak saat itu, GM telah ratusan sajak yang kemudian dikumpulkan dalam buku-buku berikut: "Parikesit" (1971), "Interlude" (1973), "Asmaradana" (1992), "Misalkan Kita di Sarajevo" (1998), "Sajak-Sajak Lengkap" 1961-2001 (2001), "Don Quixote" (2011), "Tujuh Puluh Puisi" (2011), dan "Fragmen, Sajak-Sajak Baru" (2017).
Sebagai penulis esai, GM telah membukukan ulasan-ulasannya kritisnya dalam buku berjudul “Catatan Pinggir”. Buku ini merupakan kumpulan esainya pada rubrik dengan judul yang sama. Rubrik ini diangap menjadi ulasan terpanjang yang ditulis oleh satu orang di sebuah majalah hingga layak masuk rekor dunia Guinness. Rubrik itu hadir sejak 1976 dan terus ada hingga kini.
Selain itu, GM juga telah menghasilkan banyak esai panjang yang juga telah berkali-kali dikumpulkan dalam buku sejak awal 1970-an. Esai-esai panjang GM antara lain dibukukan dalam "Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang" (1972), "Seks, Sastra, Kita" (1980), "Eksotopi" (2002), "Setelah Revolusi Tak Ada Lagi" (2005), "Tuhan & Hal Hal yang Tak Selesai" (2007), "Marxisme, Seni, Pembebasan" (2011), dan "9 Volume Catatan Pinggir" (2012).
Buku esai terakhirnya, "Si Mejenun dan Sayid Hamid", mengupas novel Don Quixote yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama tahun 2018 lalu.
Setelah sekian banyak novel dibahas di esai-esainya, GM akhirnya menulis novelnya sendiri berjudul "Surti+Tiga Sawunggaling". Novel yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama itu merupakan adaptasi dari naskah dramanya.
Latar novel kecil ini berlangsung di sebuah kota fiktif di Pantai Utara Jawa Tengah, Juli 1947, saat Belanda melancarkan agresi militer pertama, dua tahun setelah Indonesia merdeka. Novel ini berkisah tentang Surti yang menanti kepulangan suaminya, seorang gerilyawan.
Giat di Bidang Kesenian
Selain produktif menulis esai, puisi, novel dan naskah drama, GM juga aktif dalam kerja kesenian, baik seni rupa, seni tari, seni sastra, seni teater hingga drama.Mula-mula, di bidang seni pertunjukan, GM bersama komponis Tony Prabowo menghasilkan tiga buah opera. Dua di antaranya ditampilkan dalam bahasa Inggris. Karya-karyanya di seni pertunjukan, antara lain: "Kali" yang dikerjakan pada 1996 lalu direvisi tahun 2003. Naskah ini dipentaskan di Seattle, Amerika Serikat tahun 2001, dan Jakarta pada 2001.
Kemudian ada "The King’s Witch" (1997-2000) yang dipentaskan di New York, Amerika Serikat tahun 1999, dan Jakarta pada 2006. Tahun 2010 dan 2011, bersama Tony ia mementaskan "Tan Malaka", sebuah opera-esai.
Lakon lain yang ditulisnya adalah "Visa" (dipentaskan 2008), "Surti dan Tiga Sawunggaling" (2010), "Surat-Surat tentang Karna" (2011), "Gundala Gawat" (2013), dan "Amangkurat, Amangkurat" (2017).
Selain itu, GM juga menulis naskah untuk pertujukan wayang kulit yang dipentaskan Sujiwo Tejo berjudul "Wisanggeni" pada 1995 dan "Alap-Alap Surtikanti" yang dipentaskan dalang Slamet Gundono pada 2002.
Dalam bidang seni tari, GM juga menulis teks dan tembang Jawa untuk tari "Panji Sepuh", yang pertama dipentaskan tahun 1994 serta menggarap tari klasik "Mangkunegaran, Dirodometo" (2009). Jauh dari rayuan visual, GM ingin para penari menjelma bak roh orang yang gugur. Selaras dari tulisannya dalam katalog pertunjukan, "Inilah pentas sebuah ruang minimalis."
Dalam bidang seni lukis, bakat GM untuk menggambar sejak kecil. Malah, ia pernah mengatakan jika ia lebih lincah menggambar daripada menulis.
Tercatat, selama 2017 GM telah membuat sekitar 312 karya kertas, lebih kurang 40 lukisan di kanvas, dan 200-an karya kolaborasi, dan berpameran dengan 6 ekshibisi solo, 6 pameran grup, dan satu pergelaran duo.
Tahun lalu, ada 31 pilihan karya lukis GM dipamerkan dalam "The Solo Exhibition of Goenawan Mohamad" bertajuk Warna, yang berlangsung 30 Mei-20 Juni 2018 di Plaza Senayan, Jakarta. Tahun sebelumnya, di Yogyakarta, ia memamerkan sketsa-sketsanya yang mengawinkan seni lukis dan tulisan.
Terakhir, GM juga menggelar pameran tunggal seni rupa di Semarang Contemporary Art Gallery pada 15 Juni hingga 14 Juli 2019. Di sana GM memamerkan ratusan karya seni berupa drawing, sketsa, lukisan, arsip instalasi, dan rekaman pertunjukan sejak 2017-2019.
Penghargaan
Sejak masa kejayaannya sebagai penulis dan seniman, GM telah mengumpulkan banyak penghargaan pribadi dari lembaga nasional dan internasional. GM pernah mendapat Anugerah Hamengku Buwono IX bidang kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada.Pada tahun 1992, ia mendapat penghargaan Professor Teeuw dari Leiden University Belanda. Kemudian, tahun 1997, GM lagi-lagi mendapat penghargaan dari dunia internasional yakni Louis Lyons dari Harvard University Amerika Serikat.
Setelah krisis moneter yang melengserkan Soeharto dan kebangkitan kembali Tempo, GM dianugerahi penghargaan Internasional Editor (International Editor of the Year Award) dari World Press Review, Amerika Serikat (1997).
Setahun kemudian, ia mendapat penghargaan Internasional dalam Kebebasan Pers (International Press Freedom Award) oleh Komite Pelindung Jurnalis (Committee to Protect Journalists) (1998).
Akhirnya, pada masa milenium ketiga ini, GM menerima penghargaan Wertheim Award (2005) dan Anugerah sastra Dan David Prize (2006). (dari berbagai sumber)*
COMMENTS