Refleksi akhir dari masa TOP selama setahun di Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo.
![]() |
Dok. pribadi. |
Pengantar
Setiap lorong hidupku/kuingat selalu nama-Mu//Hatiku tetap merindu/panggilan hidup diriku/.Syair lagu gubahan Rm. Vincen D. Betu, O. Carm ini agaknya sangat menyentuh apa yang saya alami sepanjang setahun perjalanan pastoral saya di Seminari Labuan Bajo (Semyopal). Sebuah perjalanan anak manusia yang senantiasa berada dalam bayangan cinta, cita dan derita. Cinta kepada Allah, cinta kepada sesama dan keluarga, dan cinta kepada jalan panggilan. Itu sama takarannya dengan derita (salib) yang mesti dipikul setiap saat untuk menunjukkan kasih kepada Allah, sesama dan panggilan.
Setahun perlahan pergi. Tapi itu terasa seperti terjadi kemarin. Waktu terasa berjalan sekejap, secepat kilasan cahaya senja di puncak Bukit Cinta. Sungguh, waktu ini bergerak seperti sekelebat mata. Tak cepat berpaling, bayangan hari itu akan usai berpendar. Bahkan ketika hari-hari terasa makin indah di ujung-ujung waktu, raga pun enggan melangkah kembali.Tapi seperti kata pepatah, “kita harus pergi agar kembali menjadi sebuah kepastian”.
Benar apa yang ditulis Pemazmur, bahwa bagi Tuhan satu hari sama dengan setahun, dan satu tahun sama dengan satu hari. Itu berarti bahwa bagi Tuhan, waktu adalah sebuah kekosongan, ketiadaaan, seperti manusia juga diciptakan dari ketiadaan.
Sementara itu, yang dialami oleh manusia adalah kepekaan indrawi untuk menangkap dan menafsir kehadiran waktu dalam hidupnya. Karena itu, kecepatan atau kelambatan waktu sangat bergantung kepada kemampuan indrawi masing-masing manusia. Semakin manusia mampu menangkap kehadiran waktu, semakin berharga-lah waktu itu baginya.
Sebaliknya, jika manusia terlalu lemah untuk menangkap waktu, maka itu akan terasa membosankan, bahkan kesepian akan senantiasa menyelimuti hidupnya.
Karena itu, berikut ini saya akan menggambarkan makna kehadiran waktu sepanjang perjalanan pastoral secara reflektif dan interpretatif, dalam konteks penghayatan hidup panggilan dan aspek-aspek lain yang menunjangnya.
Wahana Belajar
Sebuah pepatah klasik katakan, “long life education”, artinya, pendidikan berlangsung seumur hidup.Hal terpenting dalam sebuah pendidikan adalah belajar. Jadi sebetulnya pepatah ini dapat diubah seperti ini: “long life learning”, artinya belajar berlangsung seumur hidup.Merujuk kepada kebijaksanaan klasik tersebut di atas, dapatlah dikatakan, bahwa tahun orientasi pastoral (TOP) adalah waktu yang baik untuk belajar. Sebagaimana dalam belajar kita membaca, melihat, mengamati, menafsir, dan seterusnya, demikianlah perjalanan TOP setahun di Semyopal menjadi wahana yang baik untuk melihat, mengamati dan menafsir realitas yang ada.
Tidak dianggap kebetulan, bahwa ketika berpastoral di Semyopal, saya dipercayakan untuk mengampu mata pelajaran olahraga (PJOK), sekaligus sebagai pembina atau koordinator olahraga asrama dan sekolah. Banyak hal yang saya belajar dari tugas ini.
Pertama, soal menjaga kepercayaan. Pada hakekatnya, ketika sebuah tugas diberikan, maka si pemberi tugas mempercayakan seutuhnya kepada pengemban.Entahkah tugas itu berhasil atau tidak, seluruhnya bergantung kepada pengemban.
Di sini saya sungguh belajar bagaimana menjaga kepercayaan yang diberikan seminari. Hal-hal kecil yang dapat dibuat, misalnya, mengerjakan perangkat kelas, menyiapkan materi ajar, kisi-kisi soal ujian, atau disiplin masuk kelas bila tidak berhalangan. Di asrama pun saya berusaha untuk membuat jadwal olahraga dan latihan pemain inti bolakaki dan bolavoli. Pada paruh pertama tahun pelajaran (semester I) semuanya berjalan dengan amat lancar dan terorganisir.
Namun ketika memasuki semester kedua, kelihatan sekali jika jadwal olahraga yang dirancang oleh anak-anak seminari agak “kacau”.Maksudnya, kegiatan olahraga dan latihan tidak berjalan dengan baik. Meski demikian, saya tetap berusaha untuk membimbing mereka sekaligus mengontrol jalannya kegiatan olahraga. Sebab tidak jarang, kebanyakan dari mereka yang “malas” berolahraga dan memilih untuk tidur.
Kedua, belajar berorganisasi. Pembelajaran organisasi dalam konteks ini adalah bagaimana membimbing dan mengontrol jalannya kegiatan. Ketika melatih para pemain, misalnya, saya menyadari bahwa kemampuan saya tidak seberapa, tapi bagaimana pada saat yang tepat menggunakan kemampuan mereka untuk membangun tim yang kuat.
Jadi, kemampuan saya hanyalah membimbing, memimpin, dan mengontrol mereka untuk mengeksplor kemampuan masing-masing. Dengan kata lain, kemampuan saya adalah untuk mengorganisasi kekuatan tim secara menyeluruh.
Ketiga, belajar disiplin diri. Sejatinya, saya bukanlah orang yang sangat disiplin hidupnya. Ketika masih berada di biara, nama saya selalu muncul dan disoroti pembina terutama soal ketidakdisiplinan. Tapi, sebenarnya, ketika hal itu terjadi, saya sedang belajar membangun kehidupan yang lebih disiplin.
Dengan kata lain, saya memahami apa itu disiplin. Begitupun terjadi ketika berpastoral. Dalam banyak hal saya kurang disiplin. Pertanyaannya, apa yang bisa saya berikan kepada anak-anak bila saya demikian adanya?
Justru, di saat inilah saya sungguh belajar bagaimana menjadi pribadi yang disiplin dan melihat bahwa disiplin itu penting dalam seluruh konteks kehidupan. Jadi disiplin itu bukan saja kekhasan hidup di biara, tapi menyangkut seluruh dimensi kehidupan manusia.
Asumsinya adalah bahwa ketika saya tidak disiplin, pada saat yang sama saya belajar untuk menghargai kedisiplinan. Dan hal itulah yang selalu saya tandaskan kepada anak-anak seminari, baik di kelas ataupun di lapangan. Maka ketika ada beberapa dari mereka yang tidak disiplin, entah diketahui bolos, terlambat doa pagi, atau terlambat latihan, saya akan menegur dan menasihati dengan ramah.
Hal yang sama dialami dengan anak-anak putri yang berada di bawah bimbingan saya. Justru di sini saya lebih banyak belajar dari mereka. Misalnya, belajar menjadi pemimpin, belajar untuk mengenal lebih dekat setiap pribadi, belajar untuk membimbing, dan belajar menjalin relasi yang sehat.
Dalam konteks yang lebih luas, karya pastoral saya adalah kesempatan untuk belajar menjadi pembina (formator) pada sebuah lembaga pendidikan. Di sini dapat belajar mengenai organisasi sekolah, sistem yang dibangun sekolah, pengelolaan keuangan, mencari uang lewat donatur, belajar mengenal siswa lebih dekat, dan masih banyak hal lainnya.
Jika dulu saya mengidealkan pola pembinaan yang baik, maka sebagai pembina saya pun mesti melakukannya demikian. Dan selama setahun ini saya melihat bahwa menjadi pembina bukan satu-satunya figur sentral dalam sebuah sistem, tapi formandi-lah yang menjadi kekuatan utama.
Pembina hanyalah fasilitator, motivator dan kontroler yang mendayagunakan seluruh potensi anak-anak agar menjadi lebih baik. Pembina bukanlah hakim, bukan pula pemimpin tunggal, tapi kharisma kepemimpinan itu muncul justru ketika ia mampu mendekati formandinya dengan hati; seorang pembina mesti tahu seluk-beluk, pergerakan, dan seluruh sistem yang berlaku di sebuah lembaga pembinaan, agar pola yang tercipta lebih ramah dan teratur.
Menemukan Diri
Sebuah inskripsi purba di gua Delfi, Yunani, bertuliskan: "te ipsum", artinya ‘kenalilah dirimu’. Kata-kata kuno itu begitu kuat pesannya seiring dengan kebangkitan filsafat Yunani klasik yang berpuncak pada refleksi tentang pengetahuan dan pengenalan diri.Asumsi dasarnya bahwa tingkat kebijaksanaan hidup paling tinggi adalah mengenal diri sendiri.Mantra itu terus bertumbuh sepanjang sejarah pengetahuan manusia. Kemudian secara spiritual dipakai oleh para rahib dan bikshu awal sebagai ‘sabda’ dalam meditasi. Dengan itu, dapat diyakinkan bahwa meditasi, sebagaimana amat kental dalam tradisi Karmel, adalah satu-satunya sarana paling dalam untuk mengenal diri.
Seyogyanya mengenal diri berkaitan langsung dengan menemukan diri, karena dengan mengenal diri niscaya seseorang akan dengan jelas menemukan dirinya di suatu titik tertentu. Saya pun demikian.
Selama perjalanan setahun berpastoral, perlahan-lahan saya mulai menemukan diri. Dalam konteks refleksi saya, menemukan diri berarti mengenal kelebihan dan kekuatan, sekaligus kekurangan dan kelemahan. Artinya, ada titik mana saya mengetahui kekuatan saya, dan sebaliknya pada titik mana saya mengenal kelemahan saya.
Dengan kata lain, pada titik mana saya bisa, dan pada level mana saya tidak bisa. Dan dasar dari semua pengenalan diri itu adalah kemampuan meditatif dan reflektif terhadap setiap kehadiran realitas, terutama tugas dan kepercayaan yang diemban selama berpastoral.
Ketika dipercayakan menjadi pengajar saya sungguh merasakan bahwa itu bukanlah basic-nya saya. Selain karena kurang punya minat terhadap tugas menjadi pengajar (guru), saya pun mengalami kesulitan besar berhadapan dengan anak-anak didik.
Hal paling utama adalah penguasaan materi ajar dan kemampuan untuk mentransfer pengetahuan secara baik kepada siswa. Justru saya menemukan begini: materi yang diajarkan pada suatu kelas akan berbeda tingkat penguasaannya dengan kelas berikutnya. Itu berarti, bahwa saya belum punya kemampuan yang baik untuk mengajar, tapi hanya punya kemampuan untuk merefleksikan dan mendalami apa yang sudah saya ajarkan.
Dengan itu, bahkan materi yang akan diajarkan di kelas berikutnya dengan mudah disampaikan. Entahkah orang punya perspektif berbeda dengan saya, tapi itulah passion yang dibangun untuk meyakinkan siswa bahwa saya bisa, meski saya tidak punya minat yang tinggi. Malah, saya menemukan diri bukan murni sebagai pengajar, tapi lebih mendekati seorang motivator yang memberi peneguhan, nasihat, dan pembinaan.
Memang tugas pendidik adalah untuk memotivasi, mendorong dan membina siswa, tapi dalam konteks ini, saya lebih menemukan diri bukan sebagai pengajar yang baik.
Begitu juga ketika saya dipercayakan menjadi ‘manajer’ tim sepakbola Semyopal. Bekal dasar saya adalah bisa bermain bagus sepakbola dan suka baca dan nonton berita olahraga. Tapi soal menjadi pelatih itu hal baru.
Namun justru ketika saya bekerja maksimal, adik-adik yang dilatih justru melihat ada perbedaan mencolok ketika saya memimpin tim bermain melawan tim lain, dengan beberapa guru yang kebetulan mengisi posisi pelatih ketika saya tidak di tempat.Itu berarti bahwa ada sesuatu yang muncul tidak kasat mata dari kemampuan saya.Dan hal itu baru saya sadari kemudian sekali.
Bahwa ada kemampuan untuk mengamati, melihat, dan memutuskan sesuatu setelah melewati refleksi yang mendalam, teliti dan terukur. Hal itu sangat tampak ketika membuat keputusan-keputusan yang tidak biasanya bila sedang bertanding dengan tingkat kejelian dan akurasi yang baik.
Cerita ini mungkin terasa berulang-ulang saya uraikan, tapi satu saja poinnya, bahwa saya menemukan diri sebagai seorang yang belum bisa memutuskan sesuatu sebelum melihat, mengamati, merefleksikan, dan memperhitungkan kejadian-kejadian lain yang mengikutinya.
Di atas semuanya itu, pengalaman pastoral memberikan suntikan berharga terhadap perkembangan diri saya, hingga perlahan saya mulai menemukan diri dengan lebih baik. Dan saya yakin, itu adalah buah dari meditasi dan refleksi yang mendalam, yang sudah begitu tertanam di dalam hidup saya.
Dalam melakukan semua pekerjaan dan tugas-tugas di seminari, ada beberapa penemuan diri yang bisa saya kategorikan ke dalam dua dimensi yang berlawanan, yaitu dimensi positif dan negatif.
Secara positif saya menemukan diri sebagai pribadi yang mencintai pekerjaan, tanggung jawab terhadap pekerjaan, tekun dalam tugas-pekerjaan, dan cekatan dalam menyelesaikan tugas-tugas atau pekerjaan.
Selain itu, saya juga bertumbuh dalam sebuah spiritualitas jalan kecil, yaitu suka memperhatikan hal-hal kecil, yang jarang dan tidak diperhatikan banyak orang. Seperti juga ketika masih di biara, segala pekerjaan akan dikerjakan dengan cepat-cekat, dan meski demikian, porsentase error-nya kecil, bahkan hampir tidak ada.
Di samping hal-hal positif di atas, terdapat pula aspek-aspek negatif yang senantiasa menghantui kehidupan saya. Dimensi-dimensi yang kurang itu, antara lain soal disiplin hidup, ketekunan dalam doa, kepercayaan diri, perfeksionisme, pendirian hidup, dan terlalu kompromistis. Memang aspek-aspek negatif atau yang kurang ini tidak berpengaruh secara kuat, tapi dalam kondisi tertentu dapat menimbulkan efek yang besar terhadap integrasi kepada kepribadian yang matang dan mapan.
Antara Cinta, Cita dan Derita
Pengalaman spiritual yang dialami St. Theresia dari Kanak-Kanak Yesus ketika mengalami kesakitan menginspirasi jutaan insan di bumi ini. Kesabaran, ketekunan berdoa, dan kekuatan untuk berharap pada Sang Cinta, Yesus, menghantarnya kepada persatuan ilahi yang sempurna dengan Sang Kekasih jiwanya itu. Jika memang ia hanya mengandalkan kakaknya, hampir pasti ia akan ‘roboh’ di tengah jalan.Tapi karena ia sungguh bersandar pada pangkuan ilahi, maka ia pun berhak memperoleh ganjaran kemurahan Allah dengan menerima makhota kekudusan. Bahkan ia berjanji untuk mengirimkan mawar kasih kepada tiap manusia yang sungguh percaya akan kasih Allah.
Sudah hampir satu setengah tahun, saya dibekap kesakitan. Bahkan pada bulan Juli 2017 lalu, ketika hendak berangkat ke tempat TOP, kondisi kesehatan masih sangat kurang memungkinkan. Tapi ada sebuah dorongan kuat untuk tetap pergi. Itu berarti saya akan tetap membawa pergulatan ketidaksehatan ke tempat pastoral. Dan sepanjang setahun perjalanan ini, saya merasa keadaan ini cukup membuat saya bekerja kurang maksimal.
Memang saya selalu sabar terhadap setiap kondisi yang ada, yang membuat saya selalu waspada terhadap setiap tugas dan pekerjaan, tapi rasanya terlalu lama saya menderita kesakitan yang belum jelas sebabnya.
Pada bulan Oktober (2017) saya pernah berobat ke kampung secara tradisional, tapi setelah itu, saya masih tetap mengalami kondisi yang sama, yang membuat tidak nyaman melakukan kegiatan. Kondisi ketidaknyamanan inilah yang membuat saya bertanya-tanya dan dilema, apa yang menyebabkan sakit berkepanjangan. Apakah memang karena belum menemukan akar masalahnya, atau karena ‘sesuatu’ yang lain.
Meski demikian adanya, cita-cita untuk tetap berada di dalam kebun anggur Tuhan masih begitu kuat. Kekuatan itu tidak saya peroleh dari mana-mana, tapi dari Yesus sendiri yang sudah menderita demi umat-Nya.Karena itu, saya pun terdorong untuk sabar dan berkorban menanggung segalanya dari kesakitan ini.
Sungguh, sebuah pengalaman ‘malam gelap’ Yohanes Salib terjadi dalam hidup saya.Malam pemurnian cita-cita, niat dan motivasi itu begitu kuat menghantui kasat mata saya. Lebih dari itu, saya melihat malam gelap itu sebagai kesempatan untuk bertumbuh. Sebab tidak ada malam gelap bila kehidupan rohani kita tidak bertumbuh (maju).
Itulah yang membuat saya bisa menjalankan aktivitas harian dengan senyuman, sukacita dan lapang hati. Bisa saja orang tidak melihat ada yang ‘sakit’ dari diri saya, tapi sebenarnya saya berusaha untuk tetap kelihatan ‘baik’. Di sini saya merasa tangan Tuhan yang menguatkan dan meneguhkan perjalanan yang melelahkan ini. Ia begitu baik dan setia, meski banyak dosa dan kelemahan manusiawi terus saya lakukan.
Perjalanan waktu sepanjang sembilan tahun di biara bukanlah waktu yang sedikit. Dan bila memang menjelang akhir-akhir perjalanan ini saya memutuskan untuk tidak meneruskannya, adalah sebuah langkah yang ‘berani’. Memang ada pikiran-pikiran sendiri yang ingin memilih berdamai dengan keadaan, tapi dorongan nurani pun kuat untuk mengatakan bahwa, jalan ini suci dan baik, tempuhlah ini.
Pada masa-masa mengalami ‘krisis’ karena kesehatan, Romo Yonas sendiri pernah bertanya: ‘apakah ada sesuatu yang dipikirkan dengan kondisi kesehatan yang demikian?’ Saya sontak menjawab: ‘belum ada’. Spontanitas jawaban itu tidak tahu berasal dari mana.Tapi saya yakin jauh di dasar lubuk sanubari, motivasi untuk tetap berada di jalan Karmel masih cukup teguh.
Bila memang ditanya, mengapa hal itu bisa terjadi? Jawaban saya hanya satu: ‘saya masih mencintai Karmel’. Meski setahun terakhir, Ordo Karmel diterpa pelbagai masalah, entah internal maupun eksternal, saya masih menerimanya dengan lapang. Cinta inilah yang mendasari semua keteguhan dan kesabaran hati. Jika tanpa cinta, mungkin saja saya sudah meninggalkannya lebih awal.
Saya percaya kekuatan utamanya adalah kecintaan kepada Yesus Kristus, sang Guru dan Sahabat dan terhadap Ordo Karmel,bukan kepada pribadi-pribadi, yang hemat saya akan ‘merusak’ citra rasa Ordo itu. Saya bersyukur di tempat pastoral sendiri saya justru dikuatkan dengan kehadiran dan kebersamaan para saudara di paroki Dalong. Romo Jimi yang baik dan Romo Marsel yang rendah hati, serta para Romo di seminari, pun banyak menginspirasi sekaligus meneguhkan perjalanan panggilan saya.
Kekeringan Pohon Rohani
Pemazmur biasanya sangat indah menggambarkan kehidupan orang benar dengan melukiskannya seperti pohon di tepi sungai yang senantiasa dialiri air. Pohon itu akan berbuah lebat tanpa mengenal musim. Bila terjadi banjir, ia tidak akan terbawa arus, karena akarnya ssangat kuat. Sebaliknya, orang fasik selalu digambarkan seperti pohon yang ditanam di atas pasir, yang kering kerontang, dan tidak menghasilkan apa-apa.Mungkin saja gambaran di atas terlalu eksrem, tapi saya hanya ingin melukiskan situasi hidup rohani saya selama berpastoral.Ada sebuah masa di manasaya ‘drop’ secara rohani. Entah karena situasi hidup saya sendiri, atau karena kondisi lingkungan seminari yang memengaruhinya.Meski merayakan ekaristi tiap hari, tapi saya tetap merasa ada yang ‘kosong’ di dalam hati, yang belum terisi secara rohani.
Dalam kegiatan doa pagi, siang atau malam, pun begitu. Saya tidak bisa masuk secara penuh ke dalam suasana doa. Kegiatan-kegiatan doa terasa seperti hanya menjalankan rutinitas. Begitu juga dengan pelayanan-pelayanan. Saya terkadang berpikir: apa artinya ini semua bila memang hati ‘kosong’ secara rohani.
Saya sungguh menyadari bahwa waktu berdoa selama di tempat pastoral sangat kurang. Begitu juga dengan semangat untuk berdoa secara pribadi.Saya menjadi begitu mudah dikendalikan oleh kelemahan manusiawi. Malam, misalnya, saya akan lupa berdoa bila kondisi badan sudah sangat ‘lelah’ dan perlu tidur. Atau bila memang ingin sekali berdoa, terkadang situasinya kurang mendukung, entah karena keributan atau bunyi-bunyian.
Padahal saya sangat membutuhkan keheningan, ketenangan dan situasi kondusif.Karena bagi saya, situasi demikianlah yang amat mendukung untuk berdoa dengan baik, meditasi dan refleksi.
Namun, tanpa men-judge kondisi eksternal, saya lebih melihat kekeringan ini sebagai ungkapan ‘pergolakan dan pergumulan’ batin saya terhadap perjalanan panggilan, apalagi ketika hidup saya diterpa pelbagai ‘ancaman’ dan ketidaksehatan. Karena keheningan itu sebetulnya terlahir dari hati, meski situasi di luar tidak mendukung. Jika batin kehilangan keheningan, maka hampir pasti segala aktivitas dijalani terasa hambar.Pertanyaannya, dengan apa ia diasinkan lagi?
Bagi saya, keheningan itu sangat penting karena keheningan memupuk kekuatan untuk bertumbuh. Seperti pohon yang senantiasa bertumbuh pada waktu malam, saat bumi lelap tertidur, begitu juga hati saya akan bertumbuh dengan baik bila ia sendiri memiliki keheningan.Karena itu, kekeringan rohani yang saya alami lebih karena situasi batin saya yang tidak hening, sehingga tidak terisi, kosong dan sepi.
Memurnikan Penghayatan Kaul-Kaul
Standar penghayatan kaul-kaul kebiaraan ketika masih di biara pasti berbeda dengan ketika sudah berpastoral. Meskipun masih dalam koridor yang sama, tapi kualitas penghayatan hampir pasti lebih disesuaikan dengan kebutuhan, tantangan dan kepentingan. Ketika masih menjalani masa-masa profesi awal, tingkat kebebasan untuk menghayati kaul-kaul sangat teratur dan terkondisi. Hal itu berbeda ketika sudah berpastoral, dan nanti akan berkarya.Praktisnya, jika sebelumnya penghayatan kaul kemiskinan, misalnya, sangat disiplin, tapi ketika di tempat pastoral, kebutuhan akan informasi dan kebebasan, akan mendesak saya untuk selalu memiliki waktu menikmati apa yang ada. Dan itu menjadi tantangan tersendiri.
Begitu juga halnya dengan keluasan mengakses informasi. Pada waktu ada kesempatan untuk memiliki telepon pribadi, saya pasti akan leluasa mengakses perlbagai bentuk informasi dan konten-konten yang tersedia, entah positif atau negatif. Tambahan pula, ketersediaan fasilitas dan berbagai tawaran duniawi menjadi ‘batu ujian’ yang sekali-sekali lengah dapat terjebak.
Karena itu, pengalaman berpastoral adalah momen di mana saya dapat memurnikan penghayatan kaul-kaul kebiaraan: kemiskinan, kemurnian dan ketaatan. Proses pemurnian itu tentu berjalan beriringan dengan proses discernment: pembedaan roh. Tapi mengapa discernment menjadi penting?
Tentu, sebagaimana dalam teologi Kristen, ada banyak roh yang hadir di hadapan manusia, dan roh itu berwujud dalam pelbagai manifestasi. Karena itu, perlu dibedakan roh-roh itu; yang baik dari yang jahat.
Sebab, bisa saja roh yang jahat hadir dalam wujud yang sangat saleh dan suci layaknya malaikat.Tawaran-tawaran dunia yang baik, terkadang merupakan wujud dari roh-roh yang menjerumuskan kita ke dalam tubir ‘kegelapan’.
Dan lagi-lagi, untuk membedakan secara jelas dan akurat manifestasi roh-roh itu adalah meditasi dan keheningan. Sebab dari keheningan dan meditas itulah saya bisa merasakan, melihat dan merenungkan lebih dalam mana pilihan yang baik dan yang tidak. Bagi saya, itulah kekuatannya, yang dalam Karmel sangat terpelihara sebagai tradisi suci.
Memang, meski sudah dimurnikan, tapi saya masih perjalanan ini belum purna. Dengan itu, proses itu tetap berlangsung seumur hidup. Anggapan bahwa proses pemurnian sudah purna akan berakibat fatal dalam pembinaan berkelanjutan, karena akan muncul ‘kesombongan’ untuk membela diri dan merasa telah selesai. Padahal sepanjang usianya, manusia tidak pernah selesai dengan dirinya; proses itu begitu dinamis dan fluktuatif.
Karena itu, yang terpenting adalah konsistensi dan komitmen untuk tetap membangun diri, layakya seorang anak kecil, yang terus bertumbuh di sepanjang perkembangannya.Apa yang saya alami saat ini belum tentu bertahan tetap. Begitu sebaliknya, apa yang terjadi nanti tidak dapat diprediksi. Tapi yang bisa saya lakukan adalah kesabaran, ketekunan dan kesetiaan untuk merawat panggilan hidup.
Dan lebih dari itu, satu-satunya kekuatan utama yang memampukan semuanya berjalan baik adalah tangan Sang Mahakuasa, yang begitu mencintai dan memahami kemanusiawian saya.
Antara Teguh dan Dilema
Sepanjang mengalami kondisi kesehatan yang kurang memungkinkan, saya sebenarnya berada pada dua jalur ini: tetap teguh dan dilema. Keteguhan saya dalam panggilan suci pertama-tama karena saya merasa terpanggil bahkan ketika saya masih kecil. Dan ketika selesai sekolah menengah, panggilan itu muncul tiba-tiba lewat perjumpaan dengan seseorang. Seolah-olah pada saat itu benih yang sebelumnya mati, bertumbuh kembali.Ketetapan hati itu bertambah ketika sudah melewati masa panjang dalam pembinaan di Ordo Karmel sekitar sembilan tahun. Sungguh suatu waktu yang lama dan matang. Tidak berhenti di situ saja.
Selama masa formasi awal, saya dicintai dan diberkati Tuhan lewat pengalaman-pengalaman harian, yang secara manusiawi saya anggap merupakan jalan Tuhan. Banyak kelemahan dan kesalahan manusiawi saya yang ‘terselamatkan’.Saya akhirnya percaya, bahwa Tuhan sungguh melihat apa yang terbaik menurut kehendak-Nya terhadap diri saya. Saya telah menikmati anugerah dan indahnya kasih Tuhan, baik dalam hidup saya, maupun dalam keluarga saya.
Meski demikian, di sisi yang lain, saya tetap merasa dilema dengan panggilan suci ini. Perasaan dilematis itu bermula ketika kondisi kesehatan saya terganggu sejak beberapa tahun terakhir.Saya bahkan pernah men-sharingkan pengalaman ini dengan seorang imam.
Keyakinan sementara saya sederhana: apakah dengan kondisi ini Tuhan sungguh ingin memurnikan motivasi dan niat saya, atau sebaliknya, keadaan ini menjadi ‘tanda’ untuk mengatakan sesuatu yang lain dengan panggilan saya.
Apayang membuat saya dilema adalah kondisi sakit yang berkepanjangan, dan belum ditemukan secara pasti penyebabnya. Hal itu membuat saya merasa tidak nyaman, bahkan untuk mengatakan dengan teguh kelanjutan panggilan saya.
Karena itu, saya akan lebih banyak berdoa supaya Ia memberikan apa yang terbaik bagi diri saya. Karena Dialah yang menunjukkan pada saya ‘jalan kehidupan’ ini.
Catatan Akhir
Ada sebuah opini umum mengatakan, bahwa TOP adalah masa yang menentukan panggilan seseorang. Di satu sisi, anggapan ini benar adanya melihat fakta bahwa tidak sedikit calon imam yang memutuskan untuk berhenti melanjutkan panggilannya setelah mengakhiri masa TOP.Tapi di sisi lain, justru masa TOP menjadi masa untuk meneguhkan panggilan, yang dengannya seseorang dengan mantap melanjutkan panggilannya. Namun hemat saya, masa TOP tidak menentukan sama sekali kualitas panggilan seseorang.
Sebab kualitas itu sudah teruji sepanjang perjalanan formasi di dalam komunitas biara.Artinya, setiap jenjang formasi punya kualitas dan kualifikasi yang sama.
Setahun perjalanan pastoral saya di Semyopal membuktikan itu. Saya tidak menganggap TOP sebagai masa ‘abu-abu’ atau masa ‘transisi’ yang paling menentukan perjalanan panggilan. Karena saya percaya bahwa pembinaan itu bersifat kontinyu, dinamis dan fluktuatif.
Karena itu, dengan rendah hati, dan memohon bimbingan Roh Kudus, saya menyatakan, bahwa perjalanan panggilan ini sungguh berat. Tapi saya yakin, bahwa Dia yang telah memulainya, Dia pula yang akan menyelesaikannya sesuai kehendak-Nya.
Labuan Bajo, 26 Mei 2018
Tulisan ini merupakan refleksi akhir Tahun Orientasi Pastoral (TOP) saya di Semyopal.
COMMENTS