Faith Matters menobatkan Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero di Maumere, NTT, sebagai lembaga calon imam Katolik terbesar di dunia.
![]() |
Para imam dan frater komunitas Seminari Tinggi St.Paulus Ledalero. Foto: dok. isitmewa |
Bagi sebagian orang Indonesia, Flores menjadi “dunia lain”
yang menjamin ketenangan dan kedamaian batin karena negeri paling Selatan itu
menyimpan kekayaan alam dan spiritualitas yang besar.
Namun, bagi mayoritas
lainnya, Flores lebih merupakan daerah terpencil yang miskin dan gersang,
dengan orang-orang yang keras dan hitam (menurut struktur sosiologis Indonesia),
meski keindahan wisata Labuan bajo telah sedikit mengangkat derajat penilaian
orang Indonesia terhadap Flores.
Dalam sekop yang khusus, bagi kalangan umat Kristen
Indonesia dan dunia, Flores telah disebut-sebut sebagai “vatikan yang lain”,
merujuk kepada Vatikan di Roma, Italia sebagai pusat spiritualitas umat Kristen
sedunia, setelah Rasul Paulus membuka kran misi evangelisasi pada masa-masa
setelah kematian Isa Almasih.
Di Flores inilah, yang oleh bangsa Portugis sebagai “pulau
bunga” ketika pertama kali menghirup aroma kekuatan mistis yang luar biasa,
berdiri sebuah pusat studi spiritualitas terbesar di dunia, terutama sejak
didirikannya lembaga pendidikan calom imam pada tahun-tahun akhir kejayaan
Belanda di Indonesia.
Lembaga rekonsiliasi internasional Faith Matters, misalnya baru saja menobatkan Seminari Tinggi St.
Paulus Ledalero di Maumere, NTT, sebagai lembaga calon imam Katolik terbesar di
dunia.
Lewat peluncuran film dokumenter berjudul The Miracle Of Flores-The World’s Largest Seminary, lembaga yang berpusat di Inggris itu mengungkapkan kekagumannya karena Flores kini telah menjelma sebagai pusat spiritualitas kontemporer dengan jumlah imam dan calon imam yang terus bertambah tiap tahunnya.
Dalam pandangannya, lembaga pejuang anti-ekstremisme itu
membuka mata dunia bahwa pulau bertajuk “Nusa Nipa” itu kini telah
mengembalikan kejayaan spiritualitas Eropa (Barat) pada masa lalu karena benih
panggilan tertanam begitu subur di pulau ular itu.
“Gereja-gereja di Eropa pada umumnya cukup kosong. Tetapi di
Indonesia, dengan populasi mayoritas Muslim, seminari-seminari Katolik dipenuhi
para pelamar. Di sebuah bukit di tengah hutan di pulau Flores terletak seminari
terbesar di dunia. Lebih dari 1000 siswa belajar di Ledalero, dan setidaknya
600 dari mereka adalah calon imamat,” kata lembaga itu dalam rilisnya pada
Senin (20/5).
Sejumlah mahasiswa yang belajar di seminari tinggi yang
didirikan pada 1936 ini mula-mula hanya merupakan calon-calom imam pribumi
(Projo) dan Serikat Sabda Allah (SVD). Namun terhitung sejak tahun 1990-an,
diterima pula calon-calon imam dari kongregasi atau tarekat lain, antara lain
calon imam Ordo Karmel.
Selanjutnya, pada tahun 2000-an, ada gelombang masuk
besar-besaran di mana kongregasi-kongregasi yang berpusat di Filipina mulai
membuka rumah-rumah studi baru mereka di Maumere, Flores, sekaligus untuk
menarik lebih banyak para calon imam masuk ke tarekat-tarekat tersebut.
Saat ini setidaknya sudah ada belasan kongregasi atau biara
yang berhimpun di sekitar “bukit sandar matahari” itu. Mereka adalah kongregasi
SVD, Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret (Pr), Biara Karmel (O.Carm), Biara
Camelian (MI), Biara Scalabrinian, Biara Rogasionis (RCJ), Biara Stigmata,
Biara Vokasionis (SDV), Biara Agustinian, kongregasi MGL, kongregasi MSSCC dan
Somascan.
Kelahiran kembali peradaban spiritualitas ini tidak terlepas
dari kiprah dan karya misi kongregasi SVD yang telah aktif menanam benih iman di
Pulau Flores sejak tahun 1912.
Sebelumnya, pernah ada kongregasi atau tarekat lain seperti
Dominikan (OP) dan Serikat Jesuit (SJ), untuk menyebut beberapa yang terekan
sejarah, namun kemudian tidak bertahan dan memilih bermisi di daerah lain di
Indonesia.
Kita tahu, Gereja Katolik yang masa lalu semata-mata
mengandalkan para misionarisnya dari Barat, sehingga harus mengalami kenyataan
bahwa perubahan situasi politik tiba-tiba dapat mempersulit pengiriman para
misionaris ke berbagai tempat di dunia. Sebab itu, Paus mendorong secara serius
perekrutan tenaga imam dan biarawan dari wilayah-wilayah misi.
Saat ini, tercatat ada lebih dari 2.000 imam dan calon imam (frater) SVD di seluruh Indonesia, belum
termasuk para imam dan calon imam dari tarekat lain serta para imam SVD yang
menjadi misionaris di seluruh penjuru dunia, mulai dari Amerika Latin, Amerika
Serikat, Eropa, Afrika, Australia, China, Jepang, dan negara-negara Asia
lainnya.
Sebelum para misionaris dari Eropa tiba pada masa-masa akhir
perang Indonesia-Belanda di Flores (menurut catatan Daniel Dhakidae berakhir
tahun 1917), bukit Ledalero nyaris ditinggalkan.
Masyarakat lokal di Flores menghindari daerah itu karena
mereka percaya itu dihuni oleh roh-roh jahat, sehingga tidak dijadikan hunian
ataupun lahan pertanian.
Namun, berkat keberanian para imam SVD, dibangunlah sebuah seminari
Katolik di atas bukit itu dan secara positif telah mengubah nama Ledalero
hingga saat ini. Di atas bukit angker itulah, para imam mendirikan masa depan
gereja lokal dan global.
“Sekarang tidak hanya dilihat secara positif oleh orang
Indonesia, tetapi oleh orang Katolik di mana saja. Seminari di Ledalero
mendidik para imam yang pergi ke seluruh dunia, memberitakan Injil tidak hanya
dengan berkhotbah, tetapi dengan memerangi kemiskinan dan ketidakadilan,” kata Faith Matters.
Seminari Tinggi Ledalero memiliki sejarah yang panjang dan
berliku-liku. Semuanya tercatat dalam ingatan kolektif para pastor SVD
khususnya. Namun di sini hanya perlu diulas kisi-kisi dari rentetan sejarah
yang panjang itu, bahwa pendirian seminari ini tidak terlepas dari dukungan
pemerintah setempat.
Hal itu tampak dari tawaran Raja Sikka (Maumere) saat itu
Don Thomas Ximenes da Silva yang meminta agar para pastor mendirikan seminari
di atas bukit angker Ledalero.
Raja Sikka sendiri merupakan kaki tangan bangsa Portugis
yang sudah berdiri ketika Portugis memasuki tanah Flores pada abad ke-15.
Secara genealogis, para turunan Raja Sikka hingga saat ini memiliki nama-nama
yang berakhir seperti nama rakyat Portugis, seperti Parera, da Silva, da Gomez,
dll.
Selain mendirikan pusat calon imam SVD, para pastor juga
serentak mendirikan lembaga pendidikan calon imam yang bernama Sekolah Tinggi
Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, di mana tahun 1935 menjadi tahun pertama perkuliahan
kepada 13 orang mahasiswa.
Dua tahun kemudian, lembaga pendidikan ini bari disahkan
oleh Tahta Suci Vatikan, tepatnya pada 20 Mei 1937. Tanggal itulah yang kini
dijadikan sebagai tanggal resmi berdirinya STFK Ledalero.
Pengakuan negara dan Gereja terhadap lembaga pendidikan ini sejak
dulu cukup tinggi. Hal itu ditunjukkan oleh kunjungan Santo Paus Yohanes Paulus
II ke Flores pada tahun 1989 dan memilih menginap di Seminari Tinggi St. Petrus
Ritapiret, di mana kamar tidur orang kudus itu telah menjadi tempat umat
Katolik mendaraskan doa-doa mereka.
Selain itu, para pejabat negara dan tokoh nasional pun
melawat lembaga yang telah memproduksi ribuan alumni berprestasi ini. Presiden
ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid pernah berkunjung kesana pada 6-7 Februari
2004.
Setelahnya, banyak pejabat negara yang melakukan kunjungan
dan silahturahmi ke lembaga pendidikan tinggi yang cukup terpandang di provinsi
NTT ini.
Keterpandangan itu bukan hanya karena lembaga ini mendidik
para calom imam Katolik, tapi lebih karena kontribusi para alumni, baik yang
berpredikat imam maupun awam, yang dinilai sangat signifikan terhadap
pembagunan masyarakat lokal, nasional dan dunia.
Sebut saja, setidaknya mayoritas orang sukses di ibukota
Jakarta asal Flores (NTT) dan telah menjadi tokoh nasional, merupakan alumni
lembaga ini, atau sekurang-kurangnya pernah mengenyam pendidikan seminari
menengah di Flores dan NTT umumnya.
Namun, lembaga pendidikan tinggi calon imam ini selalu
menghadapi masalah keuangan untuk mendorong implementasi pengetahuan dan
teknologi yang lebih mumpuni. Selama ini, para mahasiswa dibekali pengetahuan
yang memadai tapi minim eksplorasi teknologi.
Karena itu, dukungan pemerintah dan seluruh masyarakat
Indonesia tentu menjadi penggerak bagi lembaga ini untuk berinovasi lebih maju
di usianya yang ke-50 tahun ini.*
COMMENTS