--> Populisme, Demokrasi dan Negara Kesejahteraan | Si Anak Aren

Populisme, Demokrasi dan Negara Kesejahteraan

Pengelolaan kesejahteraan bukan hanya persoalan manajerial yang menyangkut “metode” pengelolaan dan sistem pendistribusian, melainkan juga persoalan politik yang membutuhkan partisispasi luas dari masyarakat secara substantif dalam keseluruhan proses pembuatan keputusan yang terbuka dan luas.


 
Ilustrasi narasi populisme Donald Trump dalam kampanye Pilpres AS 2016. Kredit: id.innerself.com 
Beberapa dekade terakhir, masalah sosial kronis, yaitu masalah kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan pengangguran mengalami sinergi yang amat berbahaya sebagai akibat dari kesalahan orientasi pembangunan. 

Dengan demikian akan menimbulkan permasalahan yang rumit ketika terjadi lingkaran setan kemiskinan, rendahnya pendidikan, hilangnya kesempatan bekerja, meningkatnya pelanggan tunjangan sosial, dan pupusnya motivasi dalam diri anak-anak muda untuk berkreasi. Muncul pertanyaan: siapakah yang berkewajiban menyelesaikan problem kronis ini?
Pada dasarnya masyarakat sangat merindukan kehadiran negara yang kuat, yaitu negara yang mampu memenuhi kebutuhan publik. Namun hal itu tidak sejalan dengan percepatan reformasi birokrasi dan tatakelola pemerintahan yang demokratis, sehingga seolah-olah negara tampak begitu lemah dalam merespon tuntutan dasariah masyarakat. 
Padahal, seturut teori negara (kesejahteraan), negara dituntut sebagai lembaga atau institusi yang dapat menjamin kesejahteraan rakyatnya (Bdk. Madung, 2013: 79-86). Tuntutan inilah yang merupakan esensi dari demokrasi, yaitu ketika terciptanya sebuah iklim yang memberikan peluang dan akses bagi masyarakat untuk mengelola segala persediaan sumber daya, dan kemudian memanfaatkannya untuk kebaikan taraf hidupnya. 

Hal ini menunjukkan pergeseran paradigma demokrasi dari sekedar kebebasan dan pemenuhan hak-hak politik menjadi kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Bersamaan dengan perubahan tersebut, ranah demokratisasi pun mengalami pergeseran, dari yang semua berlangsung di ranah masyarakat, tetapi kemudian beralih ke dalam ranah pemerintahan. Perubahan paradigma demokrasi tersebut seiring dengan hasil survei PWD-Demos (Paskarina, dkk., 2015) yang menyatakan bahwa isu yang paling penting bagi publik adalah terkait pemenuhan kebutuhan dasar dan keamanan.
Kemunculan isu pelayanan publik dalam wacana demokrasi menyiratkan sisi lain dari praktik demokrasi yang diabaikan oleh pemikiran mainstream, yaitu kebutuhan untuk mengarahkan demokrasi pada masalah-masalah kesejahteraan warga (Samadhi, 2016: 61-62; Savirani, 2016: 21-35).
Namun persoalan utama dari demokrasi adalah menjamin agar masyarakat dapat melakukan kontrol atas pembuatan kebijakan/keputusan publik, termasuk di dalamnya mengontrol para pembuat kebijakan.
Dalam tataran ini, hal terpenting adalah kapasitas kontrol rakyat atas kebijakan tersebut. Hal itu tidak hanya menunjukkan hak politik warga, melainkan juga menjadi penentu bekerjanya sebuah budaya demokrasi.
Dengan menempatkan demokrasi dalam kerangka sebagai “kontrol popular dan persamaan politik” (Beetham dan Boyle, 2000: 20), maka pengelolaan kesejahteraan pun tunduk pada kontrol dan persamaan tersebut.
Itu berarti, pengelolaan kesejahteraan bukan hanya persoalan manajerial yang menyangkut “metode” pengelolaan dan sistem pendistribusian, melainkan juga persoalan politik yang membutuhkan partisispasi luas dari masyarakat secara substantif dalam keseluruhan proses pembuatan keputusan yang terbuka dan luas. Itulah prinsip utama demokrasi, yaitu ketika keputusan diuji lewat tahapan verifikasi dan revisi di ruang publik.
Di titik inilah politik diskursus menciptakan batasan-batasan normatif untuk memberikan kriteria-kriteria tentang bagaimana pengelolaan kesejahteraan yang demokratis, yang mengandung di dalamnya nilai-nilai partisipasi, akuntabilitas, penegakan hukum, transparansi, egaliter, dsb.
Tentu, pembatasan tersebut merupakan sebuah fondasi yuridis yang menjamin tercapainya kebijakan publik terkait kesejahteraan publik. Pembatasan tersebut, dalam hal ini hukum, dibuat untuk mengurangi kecenderungan bias pemaknaan dan monopoli kekuasaan di tingkat lokal.
Tetapi kontrol atas pengelolaan tersebut, selain oleh masyarakat, dalam dinamika politik elit/pemimpin, hal itu merupakan pertarungan dari beragam institusi yang dapat dipakai untuk mengakses dan mendistribusikan sumber-sumber daya tersebut kepada rakyat, antara lain melalui lembaga negara, pasar, dan masyarakat warga.
Sebuah survei oleh PWD (2007), misalnya, menggarisbawahi pentingnya membuat demokrasi agar lebih bermakna dan bukan sekedar berfokus pada pembenahan norma, institusi dan metode demokrasi; demokrasi bukan hanya soal alat atau cara, tetapi juga tujuan.
Dengan pergeseran tersebut, wacana kesejahteraan mulai muncul sebagai bentuk jawaban kerinduan masyarakat melalui kinerja para aktor politik yang menggunakan jalan pintas populisme. Populisme dilihat sebagai “pilihan terbaik” untuk mewujudkan persoalan kesejahteraan (Olle Tornquist, 2015: 764).
Sebagai strategi untuk mewujudkan negara kesejahteraan, populisme mesti berlagak dalam koridor negara hukum demokratis. Selain untuk menunjukkan kehadiran negara-kuat, populisme juga seharusnya bergerak di arena atau jaringan diskursus publik agar elemen-elemen dan nilai-nilai demokrasi berfungsi secara baik. Itulah konsep sederahana dari negara kesjahteraan (welfare state).
Dalam tataran analisis lebih komprehensif, negara kesejahteraan adalah gambaran dari negara demokratis yang secara konstitusional tidak hanya menjamin hak-hak dasar dan kebebasan individual serta kebebasan ekonomi sebuah negara hukum, tetapi juga mengambil langkah hukum, finansial dan material untuk menyelaraskan perbedaan sosial, dan dalam batas tertentu, ketegangan dalam masyarakat. Karenanya, ada hubungan tidak terpisahkan antara demokrasi dan negara kesejahteraan.
Negara kesejahteraan dalam konteks tertentu, tidak hanya bersikap rehabilitatif, tetapi mesti hadir sebagai kekuatan yang mencegah kesenjangan sosial, sejak awal dan secara intensif membangun pendidikan berkualitas tinggi, serta upaya-upaya preventif dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan keluarga.
Jadi, pada dasarnya konsep negara kesejahteraan merupakan sebuah “proyek” atau “rekayasa” yang komprehensif dan berkualitas, yang tidak serta merta dapat diwujudkan dalam waktu yang singkat, melainkan membutuhkan sebuah proses dan arah yang jelas, entah itu terkait perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang teratur demi pencapaiannya di masa depan (Petring, dkk., 2012: 10-12).
Banyak perdebatan terjadi seputar wacana negara kesejahteraan yang berkisar pada masalah biaya, dengan asumsi dasar bahwa kebijakan sosial, misalnya program KIP, KIS, dan KKH, menghambat pertumbuhan ekonomi.
Padahal demokrasi bukanlah soal “harga” (biaya), tetapi secara substantif lebih merupakan sebuah “kebebasan”. Karenanya kebebasan dan pertumbuhan ekonomi tidak dapat dipaksakan dalam sebuah timbangan yang sama.
Sebenarnya mempertanyakan pembiayaan negara kesejahteraan pertama-tama mengacu kepada kritik populer terkait redistribusi.
Secara umum, redistribusi berarti mereka yang memiliki banyak memberi sebagian, dan mereka yang memiliki sedikit memperoleh sebagian. Cara-cara atau kebijakan seperti ini kadang-kadang dilihat sebagai “pembajakan” hak milik pribadi.
Namun kebijakan tersebut tidaklah berarti negara mengabaikan hak milik warganegara, tetapi persoalan hak-hak kepemilikan tidaklah berarti tanpa sebuah negara hukum demokratis.
Karenanya negara secara leluasa, di bawah payung hukum tertentu, mengintervensi warganya dalam hal pemerataan. Intervensi negara melalui pajak dan penerimaan dari pasar demi pemerataan adalah cara terbaik untuk memastikan kebebasan, keamanan dan kepemilikan semua warganegara.
Oleh karena itu, kebijakan sosial dan redistribusi bukanlah penyitaan hak-hak, melainkan mesti diakui bahwa dalam menikmati kebebasan, ada sebagian warganegara yang belum mampu memperolehnya.
Seperti terjadi di negara-negara kesejahteraan Eropa, Indonesia pun secara progresif mengembangkan konsep tersebut. Salah satunya adalah kebijakan pemerataan harga BBM di Papua dengan harga di Jawa (Kompas, 14 November 2016). Hal itu dimaksudkan agar setiap warganegara dapat memperoleh penghidupan yang layak dan bermartabat.
Survei yang dilakukan Kompas (2015), misalnya, mengungkapkan tanggapan positif masyarakat terhadap kebijakan jaminan sosial negara. Apa yang disebut sebagai “Kartu Sakti” Jokowi, yaitu KIP, KIS, dan KKH, ternyata mampu menyokong kehidupan masyarakat kecil dan yang tidak mampu.
Meski demikian program-program populis dalam sebuah negara kesejahteraan terkesan “memanjakan” warganegara. Warganegara seolah tidak memiliki kemandirian hidup.
Karena itu perlu memberdayakan rakyat agar mereka tidak “pasif”. Sebab sebuah kesejahteraan yang efektif mesti menyertakan para penerima di dalam kewajiban-kewajiban umum warganegara.
Tetapi karena hak warganegara mesti didahulukan sebelum kewajiban-kewajiban, maka agaknya tetaplah tidak ada perubahan berarti karena negara bertanggung jawab terhadap hak-hak warganya.
Menyikapi keambiguan ini, maka pentinglah mendemokratisasikan negara kesejahteraan. Caranya adalah negara memberi agen-agen kesejahteraan setempat (rakyat pedesaan) lebih banyak kekuasaan dan membuat mereka bertanggung jawab kepada negara.
Selanjutnya negara melengkapi hak-hak atas kesejahteraan dengan hak-hak partisipasi demokratis dalam pengelolaan program-program kesejahteraan. Program Dana Desa yang digalakkan Jokowi merujuk kepada upaya demokratisasi kesejahteraan dengan melibatkan perangkat negara paling bawah, yaitu desa.
Hal terpenting dari program tersebut adalah bagaimana menggenjot aparat desa untuk benar-benar melayani warganya, sambil membuka saluran-saluran politik warga dalam upaya demokratisasi kesejahteraan tersebut.
Dengan demikian, program tersebut dapat berjalan baik dan proses demokratisasi akar rumput pun mengalami progresivitas.*

COMMENTS

Entri yang Diunggulkan

Misteri Kematian Diplomat Arya: HP Hilang hingga Hasil Rekam Medis

Diplomat Arya Daru Pangayunan. JAKARTA -- Diplomat muda Kementerian Luar Negeri Arya Daru Pangayunan (ADP) ditemukan tewas di kos dengan mot...

Nama

4 Wanita Pesta Miras,1,Ade Chaerunisa,1,Adonara,1,Advetorial,1,Ahmad Sahroni,1,Aktor Politik,7,Alex Longginus,2,Andreas Hugo Pareira,3,Anggota DPRD TTU,1,Ansar Rera,1,Ansy Jane,1,Ansy Lema,28,Ansy Lema for NTT,3,Apel Hari Pancasila Ende,1,Bandara Ende,1,Bandara Maumere,1,Bank NTT,1,Bapa Sindi,1,Bapa Suci,1,Bayi Menangis,1,Bela Negara,1,Bentrok Antar Gereja,1,Berita Flores,1,Bertrand Peto,1,Bertrand Pulang Kampung,1,Beta Cinta NTT,4,Betrand Peto,1,Bupati Sikka,1,Cafe Alung,1,Calon Gubernur NTT,6,Calon Gubernur PDIP,1,Car Free Night,1,Carlo Ancelotti,1,Catar Akpol Polda NTT,1,Dana Pensiun,1,Danau Kelimutu,1,Danau Tiga Warna,1,Degradasi Pancasila,1,Desa Fatunisuan,1,Doktor Filsafat dari Nagekeo,1,DPD Hanura NTT,1,DPO Kasu Vina,1,DPRD Nagekeo,2,Dr. Sylvester Kanisius Laku,1,El Asamau,1,Elektabilitas Ansy Lema,1,Elon Musk,1,Ende,3,Erupsi Gunung Lewotobi,2,Euro 2024,1,Film Vina,1,Flores,1,Flores NTT,1,Flores Timur,4,GABK,1,Gen Z,1,GPIB,1,Gubenur NTT,1,Gubernur NTT 2024,1,Gugat Cerai,1,Gunung Kelimutu,1,Gunung Lewotobi,2,Guru Remas Payudara,1,Gusti Brewon,1,Hari Lahir Pancasila,1,Hasil Pertandingan Spanyol vs Kroasia,1,Hendrik Fonataba,1,Hukrim,24,Hukum-Kriminal,9,Humaniora,163,Ikatan Dosen Katolik,1,IKDKI,1,Influencer NTT,1,Insight,15,Jadwal Kunjungan Paus Fransiskus,1,Jane Natalia,1,Jual Beli Tanah,1,Kadis Koperasi,1,Kaka Ansy,3,Kakek Sabono,1,Kasus Kriminal di NTT,1,Kata-Kata Elon Musk,1,Kata-Kata Inspiratif,2,Kejati NTT,2,Kekerasan Seksual di NTT,1,Keluarga Onsu,1,Kepsek di Rote Ndao,1,Kepsek di TTU,1,Keuskupan Labuan Bajo,1,Keuskupan Maumere,1,KKB,1,Komodo,1,Komuni Pertama,1,Kongres PMKRI,1,Kontroversi PMKRI,1,Korban Longsor,1,Kota Kupang,1,Kunjungan Paus ke Indonesia,1,Labuan Bajo,1,Ledakan Gas,1,Lemondial Business School,1,Liga Champions,1,Longsor di Ende,1,Longsor di Flores,1,Longsor di Nagekeo,1,Mafia Tanah,1,Mahasiswa Nagekeo,1,Malaysia,1,Mama Sindi,1,Maumere Viral,1,Max Regus,1,Media di NTT,1,Megawati,1,Megawati ke Ende,1,Melki Laka Lena,1,Mesum Dalam Mobil,1,Mgr Ewald Sedu,1,Milenial Sikka,1,MK,1,Model Bali,1,Nagekeo,1,Nasional,45,Nelayan NTT,1,Nenek Tenggelam,1,Nona Ambon,1,NTT,1,Pamulang,1,Panti Asuhan Naungan Kasih,1,Papua,1,Pariwisata,6,Paroki Nangahure,1,Pastor Paroki Kisol,1,Pater Budi Kleden SVD,1,Paulus Budi Kleden,2,Paus Fransiskus,3,Paus Fransiskus Tiba di Indonesia,1,Pegi alias Perong,2,Pegi Setiawan,2,Pekerja NTT di Malaysia,1,Pelaku Penikaman,1,Pemain Naturalisasi,1,Pemerkosaan di NTT,1,Pemerkosaan Guru,1,Penggerebekan,1,Pensiunan Bank NTT,1,perempuan dan anak ntt,1,Perempuan NTT,1,Pertanian NTT,1,Piala Liga Champios,1,Pilgub NTT,23,Pilkada NTT,1,Pj Bupati Nagekeo,2,PMI NTT,1,PMKRI,1,PMKRI Papua,1,Polda NTT,1,Politik,29,Polres Sikka,1,Polresta Kupang Kota,1,Pos Kupang,1,Profil Ansy Lema,1,Putra Nagekeo,1,Putusan MK Terbaru,1,Raimudus Nggajo,2,Raja UCL,1,Rasis NTT,1,Refafi Gah,1,Rekonsiliasi Kasus Pamulang,1,Relawan Bara Juang,1,Remi Konradus,1,Rista,1,Rista Korban Ledakan Gas,1,Romo Gusti,1,Romo Max Regus,1,Rote Ndao,1,Ruben Onsu,2,Sabono dan Nona Ambon,1,Safari Politik Ansy Lema,1,Sarwendah,2,Seleksi Akpol 2024,1,Seminari BSB Maumere,1,Sengketa Lahan,1,Shayne Pattyanama,1,Sikka,1,Sis Jane,1,Solar Panel Listrik,1,Spanyol vs Kroasia,1,Status Gunung Kelimutu,1,STF Driyarkara,1,Sumba,1,Sumba Tengah,1,Survei Ansy Lema,1,Survei Charta Politika,1,Survei Indikator Politik,1,Susana Florika Marianti Kandaimau,1,Suster Inosensi,1,Tanah Longsor,1,Tenaga Kerja NTT,1,Tersangka EP,1,Timor Express,1,TPNPM-OPM,1,TTU,2,Universalia,3,Untar,1,Uskup Agung Ende,3,Uskup Baru,3,Uskup Labuan Bajo,2,Uskup Maumere,1,Uskup Max Regus,1,Veronika Lake,1,Video Panas,1,Vina Cirebon,2,Viral NTT,1,Wanita Open BO,1,Yohanis Fransiskus Lema,10,
ltr
item
Si Anak Aren: Populisme, Demokrasi dan Negara Kesejahteraan
Populisme, Demokrasi dan Negara Kesejahteraan
Pengelolaan kesejahteraan bukan hanya persoalan manajerial yang menyangkut “metode” pengelolaan dan sistem pendistribusian, melainkan juga persoalan politik yang membutuhkan partisispasi luas dari masyarakat secara substantif dalam keseluruhan proses pembuatan keputusan yang terbuka dan luas.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOVJPQwDTXN6os8O_yDY_BAGae_H42PkuNBczqGbsytvOWd1ivVqigIBLmghVgKKG0XgxZ5OkSh8XIjryru6wWwpMhkacfRufJKCT-rEXCP6dzWf30z6DESx9HazJ21fi6UsSJkG2-E9s/s640/Populisme2.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOVJPQwDTXN6os8O_yDY_BAGae_H42PkuNBczqGbsytvOWd1ivVqigIBLmghVgKKG0XgxZ5OkSh8XIjryru6wWwpMhkacfRufJKCT-rEXCP6dzWf30z6DESx9HazJ21fi6UsSJkG2-E9s/s72-c/Populisme2.jpg
Si Anak Aren
https://www.sianakaren.com/2019/06/populisme-demokrasi-dan-negara.html
https://www.sianakaren.com/
https://www.sianakaren.com/
https://www.sianakaren.com/2019/06/populisme-demokrasi-dan-negara.html
true
135189290626829409
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy