Berbagai bencana alam dan kemanusiaan melanda rakyat Indonesia sepanjang tahun 2018, tapi porsi anggaran masih kecil dan budaya vandalisme merongrong upaya mitigasi bencana.
![]() |
Ilustrasi bencana di Indonesia. Kredit: bnpb.go.id |
Berbagai bencana alam dan kemanusiaan
melanda rakyat Indonesia sepanjang tahun 2018, pun pada tahun-tahun sebelumnya.
Ratusan ribu anak manusia berjatuhan. Kerusakan alam dan bangunan tidak dapat dikendalikan.
Sayangnya, porsi anggaran dan sikap
pemerintah terhadap kebijakan penanggulangan bencana masih jauh panggang dari
api. Budaya vandalisme dan kesadaran bencana pun belum sepenuhnya tertanam
dalam masyarakat. Lebih dari itu, moralitas para aparat pemerintah pun terdegradasi
ketika proyek mitigasi bencana dijadikan ladang meraup keuntungan pribadi.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB), bencana Indonesia sering terjadi karena perubahan iklim dan
atmosfer hampir di seluruh wilayah, terkecuali zona pulau Borneo. Namun sebagai
negara yang dikelilingi oleh Cincin Api (rings
of fire) dan perairan, Indonesia tidak akan lepas dari bencana geologis
seperti gempabumi dan tsunami.
Berdasarkan data BNPB (per 27 Des 2018), ada
sekitar 2.532 bencana sepanjang 2018. Bencana ini menyebabkan 4.773 tewas dan
hilang, 14.193 terluka, 10.2 juta mengungsi dan terkena dampak, dan 318.044
unit rumah atau fasilitas umum rusak.
Rinciannya, ada 285 bencana tornado, 667
banjir, 466 tanah longsor, 370 kebakaran hutan dan lahan, 129 kekeringan, 57
letusan gunung berapi, 34 gelombang pasang atau abrasi, 22 gempa bumi, 1
tsunami dan 1 gempa bumi dan tsunami.
Menurut data yang tersedia, ada sekitar
9.957 peristiwa bencana selama periode 2014 hingga 2018 dan menewaskan 6.170
orang. Meskipun menurun dari periode sebelumnya, faktanya menyatakan bahwa
Indonesia saat ini dalam keadaan darurat bencana.
Total, dalam 15 tahun terakhir (2004-2018),
ada 22.777 bencana yang menewaskan 187.215 orang. Itu belum termasuk kerusakan
bangunan dan korban luka-luka serta pengungsi.
Memasuki tahun 2019, aliran bencana belum
berhenti. Saat ini, beberapa gunung berapi berada dalam periode yang
bergejolak. Baru-baru ini, gempa bumi di Nusa Tenggara Timur dan awan serupa
gelombang laut (tsunami) terjadi di langit kota Makassar.
Selain itu, telah ditemukan gunung berapi
bawah laut setinggi 4,6 km di bagian selatan provinsi Bengkulu. Meskipun tidak
memiliki potensi erupsi, aktivitas gunung tertinggi kedua di Indonesia
dipantau.
Selama periode November 2018 - April 2019,
banjir, tanah longsor dan pengambilan-puting masih akan terjadi. Sementara itu,
pada Mei-Juni 2019 akan ada tornado, kekeringan Juni-Oktober dan kebakaran
hutan dan lahan, dan periode November-Des 2019 akan terjadi banjir dan tanah longsor.
Data ini menyatakan bahwa bencana yang
paling sering terjadi adalah 2.001 (96,8 persen) bencana hidro-meteorologi
seperti banjir dan tornado dan 81 (3,2 persen) bencana geologis dalam bentuk
gempa bumi dan tsunami.
Meskipun jumlah bencana geologis sedikit,
tapi potensi kerusakannya jauh lebih besar daripada bencana hidro-meteorologi.
Tercatat ada 22 kali gempa menyebabkan 572 kematian, 2.001 luka-luka, 483.399
orang mengungsi, dan 226.667 unit rumah rusak sepanjang 2018.
Demikian juga, gempa bumi yang diikuti oleh
tsunami hanya terjadi satu kali, yaitu di Palu-Donggala, Sulawesi Tengah.
Namun, telah menyebabkan 3.475 orang meninggal dan hilang, 4.438 orang terluka,
221.450 orang kehilangan tempat tinggal, dan 68.451 rumah rusak.
Teranyar, satu tsunami di Selat Sunda pada
Sabtu (22/12/2019) lalu menyebabkan 431 tewas, 7.200 orang terluka, 15 orang
hilang, dan 46.646 orang mengungsi. Selain itu, ada kerusakan pada 1.527 unit
rumah rusak sedang, 181 rumah rusak ringan, 78 penginapan dan warung makan, 434
kapal dan kapal serta beberapa fasilitas umum.
Para korban dan kerusakan materi ini berasal
dari lima kabupaten, yaitu Pangenglang, Serang di provinsi Banten, dan Lapung
Selatan, Pesawaran, dan Tanggamus di provinsi Lampung. Namun sekarang, status
Gunung Anak Krakatau masih aktif dan terus bererupsi, dan diperkirakan masih
berpotensi menimbulkan tsunami susulan.
Potensi bencana masih meningkat karena dalam
beberapa hari terakhir, telah terjadi gejolak erupsi Gunung Agung di Bali dan
Gunung Merapi di Yogyakarta, gempa bumi di Manokwari, Papua Barat, diikuti oleh
gempa bumi di Talaud, Sulawesi Utara, dan gempa bumi yang kuat di Filipina
(29/12/2018) yang berdampak pada orang-orang di Sangihe dan Talaud, Sulawesi
Utara. Selain itu, ada pula gempa di perairan NTT beberapa hari lalu.
Berdasarkan letak geografis Indonesia,
diperkirakan sekitar 148,4 juta orang terpapar bencana gempa bumi dan 3,8 juta
orang terpapar bencana tsunami. Artinya, hampir separuh penduduk Indonesia
tinggal atau dekat dengan daerah di mana bencana terjadi, baik gempa bumi,
banjir, longsor, puting beliung maupun tsunami.
Selain itu, potensi letusan gunung berapi,
gempa bumi dan tsunami akan berlanjut. Artinya, bencana yang terjadi pada
tahun-tahun sebelumnya, diproyeksikan akan terjadi lagi pada 2019.
Baru-baru ini, BNPB terkait telah memeriksa
banyak daerah yang rawan longsor di Indonesia dari Sabang hingga Merauke.
Potensi tanah longsor bahkan mengancam lebih dari 40 juta orang yang tersebar
di 274 kabupaten/kota.
Potensi bencana itu tersebar di wilayah
sepanjang Bukit Barisan Sumatra, Jawa tengah dan selatan, Bali, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku dan Papua, kecuali pulau
Kalimantan.
Kondisi ini sangat genting karena mengancam
keamanan masyarakat dan bangsa keseluruhan. Pemerintah sendiri sedang berupaya
membuat master plan pengurangan risiko bencana. Setidaknya ada empat program
yang diluncurkan, yaitu memperkuat rantai peringatan dini bencana, membangun
dan meningkatkan lokasi evakuasi sementara, memperkuat kapasitas kesiapsiagaan,
dan membangun kemandirian industri bencana.
Realisasi master plan mitigasi bencana
sebenarnya berkaitan dengan ketersediaan anggaran. Asumsinya, bahwa jika
anggaran tahunan penanggulangan bencana terus berkurang, atau tidak memenuhi
perkiraan kebutuhan dana penanggulangan bencana, itu akan berdampak pada
kinerja lembaga-lembaga yang terkait.
Setelah tsunami Selat Sunda, Presiden Jokowi
memerintahkan agar lembaga pemerintah membeli alat pendeteksi tsunami. Ini
berangkat dari fakta bahwa tsunami di Selat Sunda tidak pernah terdeteksi atau
diketahui sebelumnya oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
Sebenarnya, Indonesia pernah memiliki alat
pendeteksi dalam bentuk jaringan pelampung tsunami yang dipasang di sekitar
kepulauan Nusantara. Setidaknya ada 22 jaringan pelampung, di mana 8 unit
dibangun oleh pemerintah Indonesia, 10 unit oleh Jerman, 1 unit oleh Malaysia,
dan 2 unit oleh Amerika Serikat yang mulai beroperasi pada 2008. Namun sejak
2012, alat-alat ini tidak lagi berfungsi. Selain karena masalah alamiah, tapi
ditemukan bahwa budaya vandalisme masyarakat yang merusak perangkat tersebut
menjadi tantangan tersendiri.
Saat ini, Indonesia hanya memiliki 5
pelampung milik internasional yang tersebar di perairan Indonesia, yaitu 1 unit
di Aceh barat (India), 1 unit di Laut Andaman (Thailand), 2 unit di selatan
Sumba (Australia), dan 1 unit di
perbatasan timur (AS).
Sebenarnya, mitigasi risiko bencana tidak
hanya tersangkut kebijakan pemerintah, tetapi juga oleh budaya masyarakat
Indonesia sendiri. Dilaporkan bahwa kerusakan peralatan pelampung lebih
disebabkan oleh tindakan vandalisme masyarakat. Jadi, ini termasuk persoalan
kultur, dan tidak semata-mata teknis atau struktural.
Demikian juga, ketidakberpihakan pemerintah
dalam menangani bencana melalui porsi
anggaran negara, pada dasarnya menunjukkan degradasi tanggung jawab moral
pemerintah dalam menangani masyarakat yang terdampak bencana.
Dalam ABPN 2019, pemerintah menyediakan dana
Rp 610 miliar. Namun dalam rapat paripurna kabinet, Senin (7/01), Presiden
Jokowi mendesak agar Kementrian Keuangan menaikkan anggarannya hingga Rp 15
triliun dari sebelumnya Rp 7 triliun (wacana Menkeu), untuk mitigasi dan
edukasi bencana. Dana tersebut akan dialokasikan ke beberapa kementrian
terkait, seperti BNPB, Kementrian Sosial, Kementrian Kesehatan, BMKG, dll.
Sebelumnya, anggaran negara untuk
penanggulangan bencana hanya disediakan sebesar Rp 746 miliar pada tahun 2018
untuk BNPB. Angka ini jauh dari kebutuhan dana untuk penanggulangan bencana
seperti yang terjadi di Palu-Donggala dan Lombok yang mencapai Rp 34 triliun.
Minimalisasi anggaran tersebut juga terlihat
dari kalkulasi selama 5 tahun terakhir, di mana anggaran untuk penanggulangan
bencana hanya Rp 5 triliun, sementara hanya untuk bencana Lombok, NTB,
pemerintah sendiri membutuhkan dana sekitar Rp 12, 7 triliun.
Kenaikan porsi anggaran ini mencerminkan
keprihatinan dan tanggung jawab konstitusional pemerintah dalam upaya mitigasi
dan penanggulangan wilayah Indonesia sebagai darurat bencana. Tujuannya agar
segenap masyarakat aman dari risiko bencana.
Meski demikian, tidak semua aparat
pemerintah memiliki tanggung jawab etis dalam tata kelola keuangan/anggaran
bencana. Ada beberapa pihak yang ingin bermain di air keruh dalam proyek
pemulihan (recovery) pasca bencana.
Hal ini dikonfirmasi oleh temuan lembaga
anti-korupsi Indonesia (KPK) ketika melakukan operasi penangkapan ke
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Banyak anggota kementerian
diduga melakukan praktik korup dalam proyek Sistem Pasokan Air Minum untuk
korban tsunami di Sulawesi Tengah.
Lantas, di mana nurani pejabat ini jika
memang mereka tahu, bahwa tindakan mereka seperti pepatah klasik: “sudah jatuh
tertimpa tangga pula”, yang merugikan para penyintas bencana. Sudikah mereka
berbuat seserakah itu terhadap sesamanya?
Karena itu, setidaknya ada tiga nilai
penting dalam manajemen bencana. Pertama, ketersediaan anggaran yang lebih
besar dari pemerintah. Kedua, budaya kerja atau moralitas pemerintah dalam
mengelola keuangan atas nama rakyat. Ketiga, budaya masyarakat itu sendiri
dalam memahami dan menanggapi persoalan bencana.
Temuan adanya kerusakan alat buoy
akibat vandalisme masyarakat pesisir menandakan adanya moralitas yang timpang
dalam budaya berpikir masyarakat itu sendiri.*
COMMENTS