Sejak kemerdekaan, Indonesia belum terbebaskan dari belenggu oligarki yang mewujud dalam diri para elit yang kroup dan haus kekuasaan.
![]() |
Ilustrasi oligarki. |
Dalam sebuah kanal diskusi ILC (Indonesian Lawyers Club) bertajuk “Cawapres: Mahar Politik dan PHP”, Selasa (14/8/2018) malam, Dr. F. Budi Hardiman menyentil satu persoalan pokok demokrasi politik bangsa Indonesia saat ini yakni terkait monopoli oligarki terhadap seluruh agenda politik pembangunan kebangsaan.
Dulu semasa berjayanya rezim Orde Baru, bentuk oligarki berupa penguasaan aset-aset ekonomi oleh segelintir orang kaya (konglomerat) dengan membangun akses strategis ke sektor-sektor ekonomi makro.
Tapi sekarang wajah oligarki tersebut telah berubah. Bukan lagi orang-orang kaya melainkan orang-orang “berpengaruh”.
Bahwa untuk menjadi penguasa tidak hanya kuat secara ekonomi atau popularitas, namun boleh jadi, cukup punya pengaruh di pelbagai level politik kebangsaan.
Dan itu bisa saja dalam bidang ekonomi, politik, agama, dan sejenisnya.
Saat ini, simbol agama justru menjadi komoditas paling potensial karenanya sangat berpengaruh terhadap seluruh konfigurasi politik negeri ini. Siapa yang punya akses dan basis di sektor agama, dialah yang tampil sebagai tokoh yang punya pengaruh untuk menentukan kebijakan.
Apa yang dikatakan Hardiman sangat menarik untuk direfleksikan, entah dalam konteks Pilpres 2019 ataupun dalam refleksi kemerdekaan bangsa kita.
Pertama, dalam konteks Pilpres. Dalam catatan Pemilu Presiden (pasca reformasi), hampir tidak pernah terjadi konfigurasi politik yang rumit layaknya Pilpres 2019.
Benang kusut itu menyata terutama berkaitan dengan penetapan cawapres, setelah capres mengerucut pada dua tokoh klasik: Jokowi dan Prabowo.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa penunjukkan cawapres kali ini sangat berbau oligarkis. Tidak seperti biasa, di mana jauh-jauh hari sebelum penutupan bursa pendaftaran, pasangan capres-cawapres sudah dideklarasikan secara purna.
Mengapa? Karena cawapres kali ini merupakan posisi yang strategis dan punya andil besar terhadap kemenangan pasangan, sehingga harus memilih tokoh yang punya pengaruh langsung tehadap seluruh dinamika politik yang terjadi.
Saban hari beredar nama-nama Cawapres unggulan kedua kubu, namun pada puncaknya, nama-nama itu ternyata menguap begitu saja. Mafhud MD yang digadang sebagai calon tunggal cawapres kubu petahana pun akhirnya diabaikan.
Koalisi gemuk Jokowi ternyata menyimpan simpati pada sosok KH. Ma’ruf Amin karena sosok senior ulama dan NU itulah yang dianggap tepat untuk konteks konsolidasi politik menjelang Pilpres dan setelahnya.
Sementara, jika ditakar secara demokrasi, koalisi mestinya memilih cawapres yang berprestasi dan punya visi-ideologi yang kuat terhadap pembangunan bangsa. Bukan berarti Ma’ruf Amin tidak punya rekam jejak yang baik, tapi pemilihan itu sangat tendensius dan politis.
Karena itulah, upaya demokratisasi pemilu tidak pernah berjalan baik karena selalu ada muatan oligarki dalam institusi demokrasi itu sendiri.
Kedua, dalam konteks kemerdekaan. Kita tahu, sejak pertama kali merdeka, Bung Karno sudah menyulut pekik melawam neoliberalisme. Sebagai pemimpin berideologi marhaenis, Soekarno menangkal semua pengaruh negara-negara liberal yang ingin menguasai aset-aset ekonomi dalam negeri.
Namun, pasca kejatuhannya di tahun 1965 setelah peristiwa berdarah Gestapu, bangsa Indonesia tidak lagi punya pemimpin seperti dirinya. Dengan pergantian estafet kepemimpinan ke tangan Soeharto, Indonesia kala itu menjadi ladang investasi terbesar bagi negara-negara ekonomi liberal.
Model investasi berupa kontrak kerja dengan PT Freeport Indonesia sejak tahun 1967, menjadi awal dari semua malapetaka yang menimpa bangsa sampai saat ini.
Dengan kuatnya basis geopolitik kekuasaan, penguasa menimbun kekayaan dari sektor-sektor ekonomi berskala besar. Nepotisme kekuasaan pun menjadi peluang yang potensial untuk menguasai sebanyak mungkin aset ekonomi bagi keluarga ataupun elit di lingkaran penguasa. Dan kultur konglomerasi itu berjaya puluhan tahun, hingga saat ini.
Menyimak fakta sejarah politik bangsa kita, agaknya boleh dikatakan bahwa sejatinya, sampai saat ini bangsa kita belum sungguh-sungguh merdeka. Indikatornya apa? Jelas-lah bagi kita, bahwa di tanggal 17 Agustus 1945, bangsa kita merebut kemerdekaan dari tangan Jepang. Saat itu kita bebas (merdeka) dari penjajahan (fisik).
Karena memang, bangsa kita tidak pernah dijajah secara politik. Ada begitu banyak organisasi dan gerakan yang berani melawan penjajahan asing.
Namun ketika rezim Orde Lama lengser, sampai saat ini bangsa kita belum menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya. Aset-aset ekonomi dan semua dinamika politik dalam negeri ternyata masih dikuasi oleh bangsa-bangsa adidaya, bahkan sangat menentukan seluruh kebijakan ekonomi politik.
Kebijakan-kebijakan pembangunan yang dicetuskan rezim Soeharto membuka sebuah ruang hegemoni ekonomi paling kuat terhadap kehidupan bangsa dan negara. Dari situ, melahirkan sebuah rezim oligarki predatoris paling berbahaya, bahkan tetap eksis di era reformasi demokrasi.
Situasi paling kasatmata dari hidupnya konglomerasi itu adalah dinamika politik di pemilu presiden. Bahwa pertarungan antar kubu yang maju di Pilpres, untuk tidak mengatakan sebagai kaki-tangan asing, adalah manifestasi dari kepentingan asing.
Dengan pengecualian tokoh semisal Presiden Jokowi, yang memang punya integritas moral kepemimpinan yang baik, manuver partai-partai koalisi menjelang Pilpres sebetulnya mencerminkan orientasi kepentingan politik, kemana dan pada siapa koalisi itu berkiblat.
Lantas, gerakan apa yang mesti dimunculkan pasca kemerdekaan bangsa kita. Pendidikan kita telah diarahkan untuk menciptakan generasi (calon-calon pemimpin) masa depan yang baik dan berintegritas.
Tapi, semudah itukah menjadi seorang pemimpin. Tentu tidak. Ada begitu banyak realitas di mana orang-orang baik bahkan ketika menjadi pemimpin menjadi sangat korup. Atau, ada begitu banyak orang yang mapan secara ekonomi. Bahkan untuk menjadi kaya, ia harus berjuang susah payah.
Namun ketika menjadi pemimpin, ia tetap korup. Apa yang salah dengan semua itu.
Kiranya, pertanyaan penulis ini memacu adrenalin generasi muda untuk terus berpikir dan membuka ruang diskusi yang relevan.
Meditasi pemikiran kita haruslah tetap pada koridor bagaimana menciptakan pemimpin yang baik. Punya sumber ekonomi, akses politik, dan integritas moral saja tidak cukup dalam konteks kepemimpinan bangsa kita.
Tapi mungkin baik bila kita mulai berpikir sedini mungkin agar menciptakan generasi emas pada tahun 2045.
Barangkali Jokowi bukanlah orang yang tepat untuk membuat perubahan saat ini, tapi sebenarnya ia sedang merintis jalan menuju kepada proses perubahan itu sendiri.
Kerja kita, prestasi bangsa!
COMMENTS