Hantu komunisme masih menjadi komoditas politik para elit untuk mendulang suara. Tak pelak, militer pun masih memelihara luka akan masa lalu komunisme.
![]() |
| Ilustrasi tentang keadilan hukum. |
Ingatan akan komunisme terus hidup sejak peristiwa pembantaian para jenderal dan simpatisan partai komunis Indonesia pada tahun 1965-1966. Isu ini, selain merupakan peristiwa gelap sejarah, tapi telah menjadi komoditas politik. Sementara bagi TNI, komunisme adalah hantu yang menghancurkan negara.
Hari ini, Kamis (27/12), sejumlah anggota TNI dari Komando Distrik Militer 0809 Kediri menyita ratusan buku yang menyinggung PKI dan komunisme di dua toko buku di Kediri, Jawa Timur. Hal itu diketahui berdasarkan laporan masyarakat setempat.
Kedua toko tersebut adalah Toko Q Ageng dan Toko Abdi di Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Setelah diperiksa, anggota Kodim menemukan 138 buku yang disebut-sebut berisi ajaran komunis. Ratusan buku itu terdiri dari berbagai judul dan penulis dengan paling banyak dijual di Toko Q Ageng.
Beberapa judul buku yang disita, misalnya, "Benturan NU PKI 1948-1965" yang disusun oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kemudian ada, "Di Bawah Lentera Merah" karangan Soe Hok Gie yang membahas pergeseran pola gerakan Sarekat Islam Semarang. Saat ini buku-buku tersebut telah diamankan aparat.
Menurut otoritas, pengamanan buku-buku itu demi menghindari potensi kerawanan di masyarakat. Sebab keberadaan buku-buku itu disinyalir telah memicu keresahan warga.
Namun, dari judul buku yang ada, tidak semuanya bermuatan unsur komunisme atau PKI. Beberapa karya Soekarno, Soe Hok Gie, dan beberapa lainnya tidak dapat dikategorikan sebagai memuat ajaran komunisme klasik. Karena itu, aparat perlu memeriksa dan memahami sungguh ajaran komunisme, sehingga tidak menabrak buku-buku yang bagus untuk literasi sejarah.
Beberapa pihak menanggapi sikap aparat TNI. Misalnya, Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu. Ia mempertanyakan maksud TNI menyita buku tentang komunisme dan PKI di kedua toko buku tersebut.
Menurutnya, untuk menyita buku, dalam hal ini barang milik masyarakat sipil, harus melalui aturan atau perintah dari pengadilan. Karena itu, tindakan tentara dinilai melanggar prosedur normatif. Justru jika terbukti menyita tanpa adanya perintah maka bisa dikenakan sanksi pidana karena mencaplok hak para penjual secara semena-mena.
Sebenarnya ada pola pikir yang keliru dalam memahami komunisme sejauh ini. Diketahui, komunisme telah hancur pasca peristiwa G30S/PKI, atau menurut versi lain disebut Gerakan Satu Oktober (Gestok). Sementara sejumlah data justru menunjuk TNI Angkatan Darat sebagai dalang dalam peristiwa tersebut. Dan versi paling benar ditulis para penulis asing, sedangkan penulis asli kita malah dilarang.
Maka benar, bahwa sejarah merupakan produk kebenaran penguasa. Dengan kata lain, sejarah yang benar adalah versi penguasa. Kelompok minor dan orang-orang kalah, tidak pantas mempertanyakan kebenaran sejarah. Malah, tidak diperbolehkan menulis kebenaran sejarah.
Secara teologis, kita dapat melacak dalam penulisan sejarah kemenangan kaum Israel atas bangsa-bangsa kafir di sekitarnya. Meski berjumlah sedikit, tapi mereka telah mendesain sejarah kenabian dan kerajaan yang benar menurut versinya, seolah-olah tidak ada lagi sejarah menurut bangsa-bangsa lain.
Demikian halnya, dalam penulisan kisah tentang penciptaan manusia yang melibatkan dua versi berbeda. Pertama menurut para Imam, kelompok dominan di kalangan Israel, dan kedua menurut para petani/peternak/pengrajin kebun anggur, representasi orang-orang lemah dalam strata sosial bangsa Israel.
Terlepas dari itu, Presiden Jokowi pada bulan Oktober lalu juga pernah meminta TNI untuk memberantas komunisme, setelah ia sering dituduh atau dikait-kaitkan dengan PKI. Jika menelusuri sejarah, pernyataan presiden sebenarnya bertujuan untuk mengungkap kebenaran atas peristiwa tersebut. Bahwa fakta yang sesungguhnya mesti digali dan diceritakan agar garis sejarah diluruskan, sehingga terbentuk pola pikir baru tentang komunisme. Dan isu tersebut seolah mendapat tempat subur ketika prestasi kepemimpinan sang Presiden sedang gemilang.
Dalam konteks penyitaan buku-buku, sebaiknya TNI tidak serta merta mengikuti arus berpikir masyarakat yang terganggu dengan adanya buku-buku tentang komunisme atau sosialisme dan leninisme. Toh, secara ekonomi pembangunan, bangsa kita mengikuti pola-pola pembangunan yang mementingkan kesejahteraan rakyat kecil, miskin, terbelakang, yang merupakan basis struktural perjuangan kaum sosialis-komunis di China ataupun di Amerika Latin. Buku-buku dengan judul yang sama telah beredar hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Secara kasatmata, kejadian tersebut merepresentasikan keberpihakkan aparat negara terhadap kelompok mayoritas, dengan dalih demi keamanan, tapi mengorbankan kebebasan dan hak-hak sipil dan ekonomi warga minoritas.
Hal yang sama terjadi pada peristiwa pemotongan salib di Yogyakarta pekan lalu. Demi keamanan warga mayoritas, aparat meloloskan permintaan, tapi dengan mengorbankan hak kelompok minor. Di mana letak keadilan, jika negara sendiri keliru memahami konsep tentang keadilan. Keadilan di sini tentu bukan keadilan distributif, tapi keadilan substantif.
Paradigma hukum seperti ini yang mesti ditinggalkan demi kesehatan dan budaya hukum yang beradab. Jika tidak, bangsa kita terus terkungkung dalam moralitas yang sesat.*





COMMENTS