--> Membebaskan Siswa dari Perbudakan Pengetahuan | Si Anak Aren

Membebaskan Siswa dari Perbudakan Pengetahuan

Pendidikan mestinya membebaskan siswa dari model kapitalisme pengetahuan yang mendesak siswa harus memiliki informasi, tapi tidak memaknai informasi.

Ilustrasi: Foto: moondoggiesmusic.com.


Pengantar

Dunia saat ini sangat berbeda. Tidak banyak orang yang bisa memprediksikan akan seperti apa dunia di masa mendatang. Entahkah ia menjadi lebih ramah, atau sebaliknya menjadi sangat hancur. Jika dulu nenek moyang kita menebang kayuan menggunakan peralatan manual, sekarang manusia malah diperhadapkan pada kondisi “bingung” untuk memilih teknologi mana yang paling murah, ramah dan praktis untuk mengerjakannya. Pada zaman Belanda, misalnya, banyak jalan raya yang dikerjakan dengan tenaga manual, yaitu dari kayu atau bambu yang diruncing. Tapi saat ini, kehadiran alat-alat canggih seperti ekskavator, buldoser, dan sejenisnya, malah memanjakan manusia. Masih banyak contoh konkret di sekitar kita yang dapat dijadikan perbandingan. Mungkinkah di suatu perdaban baru, manusia kembali ke kondisi ‘kuno’, atau malah jadi ‘robot’.

Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta penyebaran arus informasi yang masif itu, lantas kita sejenak termenung. Untuk apa? Tidak lain adalah untuk merefleksikan, apa yang sesungguhnya memicu semua perubahan itu terjadi. Tidak dapat disangkal lagi, jawabannya adalah pendidikan. Ialah satu-satunya “harta karun” yang menjadi bekal seluruh peziarahan hidup manusia.

Pada tahun 1945, ketika sekutu AS membobardir dua kota strategis di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, yang ditanya oleh pemimpin negeri Sakura itu bukan ‘berapa prajurit/tentara yang mati’, tapi ‘berapa guru yang masih hidup’. Begitulah, guru bukanlah ‘guru’ kalau ia tidak ‘mendidik’, ‘mengajar’ dan ‘melatih’. Pertanyaan ‘berapa guru yang hidup’, sebenarnya merupakan ‘aksara’ lain dari pertanyaan ‘bagaimana kita membangun pendidikan’. Pemimpin negeri matahari terbit itu percaya, bahwa pendidikan akan mencitpakan sebuah generasi baru yang lebih kuat, hebat, dan cerdas.

Dengan itu, dapatlah diasumsikan bahwa pendidikan hadir untuk menyelamatkan setiap orang dari situasi ‘kehancuran’ dan ‘kebodohan’. Apalah artinya kehadiran seperangkat alat-alat canggih seperti komputer, tapi jika tidak ada orang yang mampu mengoperasikannya. Hasilnya sama dengan nihil, podo wae. Di sinilah termaktub peran strategis pendidikan bagi perkembangan dan pertumbuhan setiap individu manusia, kelompok masyarakat dan negara-bangsa. Sebab pendidikan merupakan satu-satu jalan yang dapat mencerdaskan anak-anak bangsa. Namun, meski ia jadi satu-satunya jalan keluar, tapi itu tidak menafikan peran kunci individu manusia sebagai ‘subjek’ atas pendidikan itu sendiri. Bahwa manusia tidak boleh menjadi ‘budak’ dari sistem pendidikan. Manusia tidak digiring untuk menjadi ‘budak pengetahuan’ secara sistemik. Karena itu, di sini penulis menawarkan pendidikan karakter sebagai ‘pengurai’ benang kusut keamburadulan sistem pendidikan yang tidak jarang menjerumuskan anak didik ke dalam lubang perbudakan struktural.

Menjernihkan Paradigma Lama

Berbicara tentang pendidikan pertama-tama harus berangkat dari pemahaman yang benar dan memadai tentang arti dari pendidikan itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Moeliono, 1988:204) diuraikan bahwa kata pendidikan berasal dari kata dasar ‘didik’ yang memiliki tiga arti penting, yaitu ‘memelihara’, ‘memberi latihan’, dan ‘mengajar’. Dari kata dasar ‘didik’ inilah yang kemudian diberi imbuhan “pe-an” sehingga terbentuklah kata pendidikan yang berarti proses pengubahan sikap dan tata-laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Kurang lebih ada tiga item kunci yang menjadi perhatian utama, yaitu proses, perbuatan, dan cara mendidik. Komponen-komponen inilah yang menjadi dasar bagaimana mestinya sebuah pendidikan dijalankan.

Sebagai suatu proses, pada hakekatnya lahir untuk membebaskan seseorang dari kegelapan akan minimnya pengetahuan menuju terang pembebasan. Dikatakan sebagai terang karena manusia mendapat pencerahan dari ilmu pengetahuan yang mampu menjadi sarana dalam memudahkan dirinya melakukan banyak pekerjaan, sehingga manusia tidak perlu bekerja lebih keras. Karenanya pendidikan menjadi aspek yang sangat urgen bagi kehidupan manusia (bdk. Mikhael Dua, 2009:6).

Namun tidak jarang terjadi, ada begitu banyak sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah yang kemudian secara ‘urut kacang’ diberlakukan di sekolah-sekolah masih menyisakan banyak ‘stigma’ dan anomali. Konkretnya, ketika ketentuan kelulusan siswa dilegitimasi kepada sekolah, ada saja pihak-pihak yang ingin ‘bermain di air keruh’ dengan memanfaatkan ‘peluang’ itu sebagai cara untuk menaikkan mutu sekolah. Hal itu terlihat dari indeks kelulusan siswa yang ‘baik’, namun ternyata secara sepihak dikatrol oleh otoritas sekolah. Kelenturan kebijakan ini seolah menjadi ‘garansi’ bagi sekolah untuk mengakumulasi kualitas sekolah tanpa menghargai proses yang terjadi bertahun-tahun.

Ketika dipilih menjadi allenatore klub terbaik dunia, Barcelona, selama musim kompetisi 2008-2012, Pep Guirdola menerapkan filosofi tiki-taka ke dalam budaya sepakbola El Barca. Tak tanggung-tanggung, dua gelar Liga Champion berhasil direngkuhnya bersama Azulgrana, yaitu pada tahun 2009 dan 2011.

Ada satu frame umum yang dibawa pelatih berkepala plontos itu, yaitu ia sangat menghargai proses permainan ketimbang hasilnya. Baginya, sepakbola bukan saja industri lapangan hijau, tapi merupakan sebuah seni. Karena itu, keindahan sepakbola terletak justru pada seni mengolah bola dari kaki ke kaki. Proses terjadinya gol lebih penting dari gol itu sendiri. Itulah filosofi tiki-taka yang dulu menjadi kekuatan tim Samba, Brazil, yang secara masif dimasukkannya ke dalam milieu (lingkungan) Barcelona.

Dalam budaya pendidikan, justru filosofi ini yang mulai dilupakan. Ada sebuah pemikiran mainstream yang cenderung bersifat pragmatis sekaligus oportunis. Bahwa mencetak siswa yang berprestasi lebih penting daripada membentuk perilaku anak didik yang berkarakter dan berintegritas. Akhirnya fungsi utama lembaga pendidikan sebagai wahana pembentukan karakter individu perlahan pudar. Sekolah lebih menghargai siswa berprestasi dibandingkan karakter yang terbentuk dari pola pendidikan yang berlaku.

Hal ini pun menjalar ke dalam konstruksi pemikiran masyarakat. Ketika seorang anak liburan dari sekolah di akhir semester, orangtua dan juga orang-orang sekitar pasti akan menanyakan tingkat kepintaran anak di sekolah. Dan itulah yang diceritakan. Jarang sekali orangtua atau masyarakat yang melihat perubahan sikap anak-anak, entah baik atau buruk, untuk diperhatikan. Padahal, prestasi atau kepintaran adalah sesuatu yang ditambahkan kepada individu anak, tapi karakter atau perilaku, itu adalah sesuatu yang secara in se melekat dalam kepribadian individu manusia.
Karena itu, perlu dibangun sebuah alur berpikir baru yang lebih jernih melihat pendidikan sebagai sebuah proses, perbuatan dan cara mendidik seorang individu manusia. Bukan sebaliknya, sebagai sarana untuk menjebak anak didik di dalam bentuk ‘pembunuhan’ karakter secara sistemik.

Aktualisasi Pendidikan Karakter

Prof. Dr. N. Driyakara mendefinisikan pendidikan sebagai suatu “proses pemanusiaan manusia muda”. Ini berarti pendidikan harus membantu seseorang, yaitu anak didik, agar secara tahu dan mau bertindak sebagai manusia dan bukan hanya secara insting saja. Lebih dari itu pendidikan harus membantu agar seluruh sikap dan tindakan serta aneka kegiatan seseorang benar-benar bersifat manusiawi (Nelson Klau Fauk, 2006:12).

Hal itu ditegaskan lagi oleh Alfred North Whitehead, filsuf kelahiran Ramstage, Kent, Inggris, dalam gagasannya mengenai pendidikan. Sesuai dengan pandangannya tentang manusia sebagai makhluk dinamis, Whitehead melihat pendidikan sebagai usaha ‘pendampingan’ terhadap peserta didik. Ia menggambarkan bahwa secara kodrati para peserta didik bersifat aktif dan kreatif.

Oleh karenanya, rangsangan dan bimbingan sangat diperlukan dalam seluruh proses pendidikan. Menurutnya, pendidikaan formal lebih bersifat memberi jalan dan menciptakan suasana yang mendukung bagi berjalanya proses adikodarti. Pendidik lebih bersifat sebagai pendamping atau pembantu bukan hanya sekedar penentu pokok berhasil tidaknya pendidikan (Sudarminta, 2002:104-105).

Oleh karena itu salah satu alternatif terbaik yang dianjurkan Whitehead adalah guru-guru tidak boleh mengajar terlalu banyak materi atau bahan pelajaran dan hendaknya proses kegiatan belajar mengajar harus berlangsung seefisien dan seefektif mungkin. Bagi Whitehead, kegunaan pendidikan akan paling nyata jika menghasilkan orang-orang yang memiliki the sense of style, yakni kualitas mental yang meresapi seluruh pribadi yang dimilikinya.

Merunut pada gagasan dasar kedua filsuf di atas, dapatlah dikatakan bahwa keduanya memberikan penekanan pada hal yang sama, yaitu pendidikan sebagai pembentukan karakter (manusiawi). Idealnya, apa itu pendidikan karakter?

Secara etimologis, kata karakter berasal dari bahasa Latin, yakni kharakter, atau dalam bahasa Yunani kharassein, yang berarti ‘memberi tanda’ (to mark) (Syarbini, 2014:9). Atau dalam bahasa Inggris character, yang berarti: ’watak’, ‘karakter sifat’, ‘peran’ dan ‘huruf’. Sementara itu Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan kata karakter sebagai sifat atau ciri kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, dalam hal ini tabiat sikap tingkah laku dan watak (Moeliono, 389).

Pengertian ini diafirmasi lagi oleh psikolog Amerika, William James, yang mengatakan: “Sow an action and you reap a habits; so a habit and you reap a character, so a character and you reap a destiny". 

Secara gamblang, sejatinya karakter berkaitan dengan kebiasaan. Suatu tindakan yang dilakukan secara terus-menerus akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang diulang-ulang akan menjadi karakter; karakter yang dilakukan secara terus menerus akan  menjadi tujuan. Jadi, karakter berkaitan langsung dengan suatu kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang.

Dari definisi-definisi tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa karakter merupakan sifat khas yang menjiwai pribadi seseorang yang mencakup watak, perilaku, dan seluruh aspek kehidupan yang ada di dalamnya. Karakter mengarah pada cara berpikir dan berperilaku yang dimiliki oleh setiap individu. Karakter juga dipahami sebagai sifat khas dari seseorang yang sangat menonjol dan dijadikan sebagai pola hidup. Jadi dapat dikatakan bahwa setiap individu yang berkarakter adalah kumpulan orang-orang yang memiliki kekhasan dan keunikan  dalam dirinya. Dengan demikian istilah karakter memiliki makna yang berhubungan langsung dengan perilaku hidup yang ada dalam diri setiap individu.

Pendidikan sejatinya adalah suatu proses pencerdasan anak didik, dan lebih dari itu juga turut memberikan kontribusi bagi pembentukan karakter manusia. Pada titik ini pencapaian kualitas pendidikan yang sesungguhnya ialah mencerdaskan manusia. Ini berarti proses pendidikan tidak hanya menitikberatkan pada pengembangan intelektual semata, tapi juga mencakup aspek moral kepribadian. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, tidak jarang terjadi penyimpangan dari tujuan luhur ini.

Meningkatnya praktik-praktik ketidakjujuran dan berbagai tindakan amoral yang terjadi dalam lembaga pendidikan, semakin memperkuat faktum kemerosotan dunia pendidikan.
Persoalan yang paling sering dihadapi adalah munculnya kecenderungan dari setiap sekolah yang hanya menargetkan pencapaian kualitas akademik peserta didik, seperti lulus dalan Ujian Nasional (UN).

Orientasi pendidikan di sekolah-sekolah hanya menginginkan agar siswa bisa meraih nilai baik, tapi tanpa pernah melihat secara jeli cara dan proses untuk mendapatkannya, sehingga tidak jarang peserta didik menghalalkan kecurangan. Para guru pun dengan berbagai cara membantu siswa demi mempertahankan mutu kelulusan sekolah. Berbagai tindakan amoral yang dilakukan para pendidik dan anak didik pun turut menambah rentetan persoalan yang memperkeruh kualitas pendidikan di bumi pertiwi ini, dan NTT khususnya, sampai-sampai distigmatisasi sebagi ‘provinsi bodoh’.

Mendiang Seokarno pernah menegaskan, bahwa sejak awal kemerdekaan, kebijakan pendidikan sudah diarahkan pada pembentukan karakter bangsa. Hal ini berarti pendidikan karakter sudah sejak lama dicanangkan, tapi masih berkutat pada tataran wacana dan administratif dan belum diaplikasikan secara nyata.

Pada saat pembukaan Musyawarah Besar Tani Seluruh Indonesia di Jakarta, tanggal 20 Juli 1965 Presiden pertama itu juga menggaungkan api Trisakti. Bunyi dari seruan adalah: “Berdaulat penuh, politik berdaulat penuh, ekonomi berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, jangan terikat, jangan tergantung kepada siapapun, di dalam hal kebudayaan, kita harus berkepribadian sendiri.”

Gema yang sama dilanjutkan lagi oleh Jokowi yang secara gencar mengusung tiga nilai penting dari Trisakti, yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya (Bimo Nugroho, 2014:118-119). Tapi, toh belum ada perubahan berarti. Yang berubah hanyalah kurikulum di setiap pergantian menteri pendidikan.

Karena itu, pendidikan karakter dalam konteks kebangsaan kita tetap menjadi hal yang aktual untuk, bukan saja diwacanakan, tapi yang terpenting adalah mengaktualisasikannya agar tetap relevan dengan perubahan sosial politik bangsa. Dengan demikian, pembangunan sumber daya manusia yang cerdas dan berkarakter sungguh-sungguh menjadi agenda prioritas pemerintah, dan bukan saja pembangunan infra-struktur.

Siswa Bukan ‘Budak Pengetahuan’

Saban hari, ketika kobaran revolusi industri pecah di Eropa, banyak tenaga buruh yang diimpor dari pelbagai wilayah jajahan, termasuk Indonesia, untuk dipekerjakan pada perusahaan-perusahaan. Karena begitu masif arus perpindahan buruh tersebut sampai-sampai perusahaan tak tertampung.

Di sana para pekerja disedot menjadi ‘mesin-mesin’ manual untuk memproduksi barang-barang. Di titik itulah industri-industri milik kaum borjuis mengobjektivikasi subjek manusia menjadi sekedar ‘alat produksi’. Manusia tidak lain adalah ‘komoditi’ bagi industri-industri.

Di saat yang sama, lahirlah pemikiran kritis Karl Marx melalui karya monumentalnya: Das Kapital. Di situ ia mengkritisi perlakuan kaum borjuis dan mendesakkan kaum pekerja (proletariat) untuk berrevolusi, yaitu keluar dari kungkungan perbudakan dengan membentuk serikat-serikat pekerja. Buah dari pemikirannya ini kemudian melahirkan sosialisme.

Marx (isme) berpendirian untuk menentang praktik-praktik ‘serakah’ kaum kapital (pemodal) yang menjadikan buruh (manusia) sebagai ‘budak’ produksi, mesti dibentuk model masyarakat komunisme, meski model Marx telah mengalami keruntuhan (contoh: Uni Soviet).

Sekarang, dunia berubah. Paradigma masyarakat pun berganti. Jika dulu manusia berpandangan untuk ‘memproduksi’ sesuatu, sekarang manusia berpikir untuk ‘mengkonsumsi’ segala sesuatu. Pola itu berubah dari produktif ke konsumtif. Karena hidup di zaman yang konsumtif maka segala sesuatu mesti dinikmati, dirasakan, dimakan, dan dipunyai serta dihabiskan. Dan bentuk nyata dari gaya hidup ini bukan dengan mengkonsumsi banyak makanan, atau memiliki banyak barang, tapi informasi. Informasi sudah menjadi ‘kebutuhan pokok’ manusia era sekarang. Tanpa informasi, manusia terisolasi. Orang rela mengeluarkan uang hingga ratusan ribu membeli data internet hanya untuk mengakses informasi, searching atau googling. Maka siapa yang memiliki banyak informasi, dialah yang menguasai dunia.

Namun dalam dunia pendidikan, sejatinya bukan siapa yang memiliki banyak informasi, dia yang menguasai sebuah ilmu. Karena pengetahuan bukan dilihat banyaknya informasi yang dimiliki, tapi kualitas diri untuk menginterpretasi dan merefleksikan kebenaran sebuah informasi.

Karena itu, akses terhadap ilmu pengetahuan jangan sampai memperbudak anak didik itu sendiri. Sebab hasil dari ilmu bukan pengetahuan, tapi tindakan. Di dalam tindakan itulah terlihat jelas kesejatian kemanusiaan seorang individu manusia, dan bukan dari pengetahuan informatif yang dimilikinya. Dalam konteks pendidikan formal, yang diutamakan tidak lagi prestasi akademis dan kognitif, tapi sebuah positioning untuk merefleksikan dan menginterpretasi setiap realitas yang berpuncak pada pola tindakan yang berintegritas dan bermoral. Justru di titik inilah karakter seorang anak didik muncul secara alamiah dan orisinal.

Catatan Akhir

Diskursus implementasi pendidikan karakter ke satuan pendidikan mestinya juga memperhatikan kultur sekolah dalam konfrontasinya dengan lingkungan masyarakat sekitar. Jika tidak, industri pemanusiaan manusia ini akan berkutat pada wacana belaka. Kurikulum nasional tidak akan pernah paripurna bila memang sistem yang dibangun tidak sesuai dengan karakter alamiah dari sekolah-sekolah.

Apalagi jika kurikulum tersebut menyedot perhatian ekstra anak didik untuk sebanyak mungkin mengakses informasi dan pengetahuan di luar sekolah formal. Secara psikis, bisa saja anak-anak didik ini mengorbankan banyak hal yang pokok dalam pembinaan kepribadiannya. Karena itu, pendidikan mestinya membebaskan manusia dari perbudakan subjektivitas kepribadiannya.

Agaknya sistem pendidikan harus lebih banyak punya ekositem dan kultur khas, yang mengakomodasi matarantai pendidikan. Tidak semestinya lembaga pendidikan mengadopsi semua sistem dan peraturan pemerintah terkait pendidikan, karena sebagai ekosistem, lembaga pendidikan punya struktur kerja dan keagenan yang khas.

Lembaga tidak boleh terjebak dalam sistem temporer yang dibuat pemerintah; menunjukkan kegagapan pemerintah menerapkan sistem pendidikan yang bermutu. Karena justru pemerintah sudah mulai lebih banyak mengadopsi sistem yang dijalankan lembaga swasta, misalnya lembaga pendidikan Katolik.

Artikel ini pernah terbit di Majalah Lux SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo, edisi Juni 2018.

COMMENTS

Entri yang Diunggulkan

Misteri Kematian Diplomat Arya: HP Hilang hingga Hasil Rekam Medis

Diplomat Arya Daru Pangayunan. JAKARTA -- Diplomat muda Kementerian Luar Negeri Arya Daru Pangayunan (ADP) ditemukan tewas di kos dengan mot...

Nama

4 Wanita Pesta Miras,1,Ade Chaerunisa,1,Adonara,1,Advetorial,1,Ahmad Sahroni,1,Aktor Politik,7,Alex Longginus,2,Andreas Hugo Pareira,3,Anggota DPRD TTU,1,Ansar Rera,1,Ansy Jane,1,Ansy Lema,28,Ansy Lema for NTT,3,Apel Hari Pancasila Ende,1,Bandara Ende,1,Bandara Maumere,1,Bank NTT,1,Bapa Sindi,1,Bapa Suci,1,Bayi Menangis,1,Bela Negara,1,Bentrok Antar Gereja,1,Berita Flores,1,Bertrand Peto,1,Bertrand Pulang Kampung,1,Beta Cinta NTT,4,Betrand Peto,1,Bupati Sikka,1,Cafe Alung,1,Calon Gubernur NTT,6,Calon Gubernur PDIP,1,Car Free Night,1,Carlo Ancelotti,1,Catar Akpol Polda NTT,1,Dana Pensiun,1,Danau Kelimutu,1,Danau Tiga Warna,1,Degradasi Pancasila,1,Desa Fatunisuan,1,Doktor Filsafat dari Nagekeo,1,DPD Hanura NTT,1,DPO Kasu Vina,1,DPRD Nagekeo,2,Dr. Sylvester Kanisius Laku,1,El Asamau,1,Elektabilitas Ansy Lema,1,Elon Musk,1,Ende,3,Erupsi Gunung Lewotobi,2,Euro 2024,1,Film Vina,1,Flores,1,Flores NTT,1,Flores Timur,4,GABK,1,Gen Z,1,GPIB,1,Gubenur NTT,1,Gubernur NTT 2024,1,Gugat Cerai,1,Gunung Kelimutu,1,Gunung Lewotobi,2,Guru Remas Payudara,1,Gusti Brewon,1,Hari Lahir Pancasila,1,Hasil Pertandingan Spanyol vs Kroasia,1,Hendrik Fonataba,1,Hukrim,24,Hukum-Kriminal,9,Humaniora,163,Ikatan Dosen Katolik,1,IKDKI,1,Influencer NTT,1,Insight,15,Jadwal Kunjungan Paus Fransiskus,1,Jane Natalia,1,Jual Beli Tanah,1,Kadis Koperasi,1,Kaka Ansy,3,Kakek Sabono,1,Kasus Kriminal di NTT,1,Kata-Kata Elon Musk,1,Kata-Kata Inspiratif,2,Kejati NTT,2,Kekerasan Seksual di NTT,1,Keluarga Onsu,1,Kepsek di Rote Ndao,1,Kepsek di TTU,1,Keuskupan Labuan Bajo,1,Keuskupan Maumere,1,KKB,1,Komodo,1,Komuni Pertama,1,Kongres PMKRI,1,Kontroversi PMKRI,1,Korban Longsor,1,Kota Kupang,1,Kunjungan Paus ke Indonesia,1,Labuan Bajo,1,Ledakan Gas,1,Lemondial Business School,1,Liga Champions,1,Longsor di Ende,1,Longsor di Flores,1,Longsor di Nagekeo,1,Mafia Tanah,1,Mahasiswa Nagekeo,1,Malaysia,1,Mama Sindi,1,Maumere Viral,1,Max Regus,1,Media di NTT,1,Megawati,1,Megawati ke Ende,1,Melki Laka Lena,1,Mesum Dalam Mobil,1,Mgr Ewald Sedu,1,Milenial Sikka,1,MK,1,Model Bali,1,Nagekeo,1,Nasional,45,Nelayan NTT,1,Nenek Tenggelam,1,Nona Ambon,1,NTT,1,Pamulang,1,Panti Asuhan Naungan Kasih,1,Papua,1,Pariwisata,6,Paroki Nangahure,1,Pastor Paroki Kisol,1,Pater Budi Kleden SVD,1,Paulus Budi Kleden,2,Paus Fransiskus,3,Paus Fransiskus Tiba di Indonesia,1,Pegi alias Perong,2,Pegi Setiawan,2,Pekerja NTT di Malaysia,1,Pelaku Penikaman,1,Pemain Naturalisasi,1,Pemerkosaan di NTT,1,Pemerkosaan Guru,1,Penggerebekan,1,Pensiunan Bank NTT,1,perempuan dan anak ntt,1,Perempuan NTT,1,Pertanian NTT,1,Piala Liga Champios,1,Pilgub NTT,23,Pilkada NTT,1,Pj Bupati Nagekeo,2,PMI NTT,1,PMKRI,1,PMKRI Papua,1,Polda NTT,1,Politik,29,Polres Sikka,1,Polresta Kupang Kota,1,Pos Kupang,1,Profil Ansy Lema,1,Putra Nagekeo,1,Putusan MK Terbaru,1,Raimudus Nggajo,2,Raja UCL,1,Rasis NTT,1,Refafi Gah,1,Rekonsiliasi Kasus Pamulang,1,Relawan Bara Juang,1,Remi Konradus,1,Rista,1,Rista Korban Ledakan Gas,1,Romo Gusti,1,Romo Max Regus,1,Rote Ndao,1,Ruben Onsu,2,Sabono dan Nona Ambon,1,Safari Politik Ansy Lema,1,Sarwendah,2,Seleksi Akpol 2024,1,Seminari BSB Maumere,1,Sengketa Lahan,1,Shayne Pattyanama,1,Sikka,1,Sis Jane,1,Solar Panel Listrik,1,Spanyol vs Kroasia,1,Status Gunung Kelimutu,1,STF Driyarkara,1,Sumba,1,Sumba Tengah,1,Survei Ansy Lema,1,Survei Charta Politika,1,Survei Indikator Politik,1,Susana Florika Marianti Kandaimau,1,Suster Inosensi,1,Tanah Longsor,1,Tenaga Kerja NTT,1,Tersangka EP,1,Timor Express,1,TPNPM-OPM,1,TTU,2,Universalia,3,Untar,1,Uskup Agung Ende,3,Uskup Baru,3,Uskup Labuan Bajo,2,Uskup Maumere,1,Uskup Max Regus,1,Veronika Lake,1,Video Panas,1,Vina Cirebon,2,Viral NTT,1,Wanita Open BO,1,Yohanis Fransiskus Lema,10,
ltr
item
Si Anak Aren: Membebaskan Siswa dari Perbudakan Pengetahuan
Membebaskan Siswa dari Perbudakan Pengetahuan
Pendidikan mestinya membebaskan siswa dari model kapitalisme pengetahuan yang mendesak siswa harus memiliki informasi, tapi tidak memaknai informasi.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhydenTltzttPX8msci1klMgCAFj_On5JvSTKcmWkc2gcOdQssfeja80QTL4BetTT_gtpj6lecjzuo_1LznGBrxAmuLDBFmrc7tkU1gDEBOJV1S_e5I8ArBIvdBxeSIwmf0VXG9qweKucs/s640/siswa.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhydenTltzttPX8msci1klMgCAFj_On5JvSTKcmWkc2gcOdQssfeja80QTL4BetTT_gtpj6lecjzuo_1LznGBrxAmuLDBFmrc7tkU1gDEBOJV1S_e5I8ArBIvdBxeSIwmf0VXG9qweKucs/s72-c/siswa.jpg
Si Anak Aren
https://www.sianakaren.com/2019/02/pendidikan-karakter-membebaskan-manusia.html
https://www.sianakaren.com/
https://www.sianakaren.com/
https://www.sianakaren.com/2019/02/pendidikan-karakter-membebaskan-manusia.html
true
135189290626829409
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy