Pelayanan kasih di Bruderan MOP Labuan Bajo oleh komunitas San't Egidio Labuan Bajo.
![]() |
Komunitas Sant' Egidio Labuan Bajo merayakan Natal Bersama tahun 2017 dengan para anak panti asuhan Bruderan MOP melalui perjamuan "Makan Bersama". Foto: dok. Sant' Egidio. |
difabel). Komunitas religius yang khusus melayani kaum difabel itu terletak persis di jantung kota Labuan Bajo, sehingga bisa mengakomodasi jarak dan waktu bagi mereka untuk berjumpa dan berbagi.
Waktu itu kira-kira pukul 16.00. Anak-anak panti menyambut mereka persis di depan pintu gerbang biara. Bukan dengan nyanyian dan tarian, atau pukulan gong gendang dan tarian Caci, tapi dengan salaman dan senyuman polos. Sambutan hangat anak-anak ketika dikunjungi setiap Sabtu sore itu memberi sesuatu yang berbeda dalam hidup mereka. Ada sebuah ruang kosong di dalam diri yang terisi seketika. Meski tidak sepenuhnya terisi, tapi ruang itu tetap terbuka hingga diisi lagi, dan lagi.
“Kami tidak tahu perasaan apa yang muncul ketika anak-anak itu menyalami kami di pintu gerbang. Tapi yang pasti hati kami tersentuh. Senyuman mereka yang jujur dan polos membuat kami terpanggil untuk menjalin persahabatan yang lebih sungguh. Setiap Sabtu sore mereka pasti sudah tunggu kami di gerbang. Sepertinya mereka sudah hafal kapan kami datang. Memang pertama kali kami ke sana tidak begitu. Tapi lama-lama mereka mulai mengerti dan spontan menanti kehadiran kami,” ungkap Maria Yemato Yenjeli Asmat (27), penanggung jawab komunitas Sant’ Egidio Labuan Bajo ketika dihubungi per telepon seluler.
Yen, demikian sapaan akrabnya, disebut penanggung jawab dan bukan ketua komunitas seperti organisasi atau kelompok struktural-kategorial lain, karena sebagaimana garis kebijaksanaan komunitas, tidak ada jabatan struktural atau hierarki di dalam komunitas mereka. Memang ada struktur organisasi seperti penanggung jawab, bendahara, sekretaris, dsb., tapi itu bukan jabatan organisatoris, tapi lebih kepada jabatan fungsionaris.
Tentang Sant' Egidio
Komunitas Sant’ Egidio sendiri adalah sebuah komunitas awam Katolik, khususnya kaum muda, yang didirikan Andrea Riccardi pada 7 Februari 1968, di Roma, Italia. Komunitas ini sudah tersebar ke seluruh dunia seperti di Amerika, Afrika, Eropa, dan Asia. Komunitas ini masuk ke Indonesia pada tahun 1991 di kota Padang lalu berkembang di beberapa kota seperti Yogyakarta, Aceh, Nias, Medan, Duri, Pontianak, Jakarta, Bogor, Kupang, Semarang, Denpasar, Maumere, dan Atambua. Sementara itu, di Labuan Bajo baru didirikan pada 6 Mei 2017.
Komunitas ini pertama-tama dididirikan untuk membangun jembatan cinta kasih di antara semua umat manusia, tanpa membedakan agama, suku, ras, dan golongan. Fokus pelayanan mereka adalah ada bersama dengan orang-orang lemah, kaum miskin dan terlantar, lansia, korban perang, gelandangan, orang sakit, penderita kusta dan HIV/AIDS, serta bentuk-bentuk kemiskinan lainnya. Ada empat spiritualitas yang mencirikan cara hidup komunitas ini: pertama, Doa: merupakan pusat dan dasar bagi hidup komunitas; kedua, komunikasi Injil: jantung hidup komunitas, yaitu dengan menjadi Gereja bagi semua orang terutama kaum miskin; ketiga, ekumenisme: hidup dalam persahabatan dan doa dengan persekutuan umat Kristiani di seluruh dunia; dan keempat, dialog: sebuah jalan damai dan kerjasama antar agama.
Pada Mulanya adalah 'Panggilan'
Kehadiran komunitas ini di Labuan Bajo telah memberi sesuatu yang positif bagi kehidupan kaum muda itu sendiri dan anak-anak panti yang mereka layani. Kesaksian hidup yang mereka sharingkan memuat kesan bahwa hidup mereka telah diubah dalam perjumpaan mereka dengan komunitas ini. Yen salah satunya. Perkenalannya dengan komunitas Sant’ Egidio dimulai ketika dia masih kelas 3 SMA di tahun 2008. Saban hari, ketika dia melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi di Kupang, gadis kelahiran Macang Pacar, Manggarai Barat ini tetap aktif di dalam kegiatan komunitas. Hingga akhir kuliahnya dan mulai bekerja, niatnya terus bertumbuh, dan akhirnya direkomendasikan teman-temannya untuk mendirikan sebuah komunitas baru di Labuan Bajo.
Awalnya komunitas mereka hanya beranggotakan 5 orang muda. Namun perlahan bertambah dan kini berjumlah 11 anggota tetap dan beberapa lainnya simpatisan. Dari segi jumlah, tidak seberapa keanggotaan mereka. Tapi justru karena itulah mereka berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pelayanan, sehingga lebih banyak lagi kaum muda terpanggil untuk bergabung.
“Kami tidak mendaftarkan para anggota, atau buat promosi, tapi barangsiapa yang terpanggil, dengan senang hati kami terima untuk bergabung. Karena itu, kami ke depan coba buat pendekatan dengan anak-anak asrama yang SMA mungkin bisa bergabung. Kan nanti kalau mereka kuliah, mereka bisa gabung di komunitas di mana mereka menimba ilmu,” kata alumnus SMAK St. Fransiskus Xaverius Ruteng itu.
Terpanggil Melayani Kaum Difabel
Pelayanan mereka pertama kali dibuat di bruderan MOP pada 24 Juli 2017. Pelayanan dimulai pada pukul 16.00–18.00, yang diisi dengan kegiatan seperti pengajaran, nyanyian, pemandian, dan selalu ditutup dengan doa. Doa inilah yang paling penting dalam kehidupan komunitas. Doa membuat mereka tetap setia untuk datang dan bersahabat dengan adik-adik. Pada Sabtu I dan II dalam bulan dibuat pelayanan berupa pengajaran, seperti latihan membaca, menulis, berhitung. Hari Sabtu III diadakan misa bersama, dan pada Sabtu IV dibuat lagi pelayanan berupa tarian, nyanyian, dll. Tidak hanya itu, dalam setiap hari pelayanan, mereka selalu memandikan anak-anak. Saat itulah mereka merasakan getaran keibuan, bahwa anak-anak itu membutuhkan perhatian dan kasih sayang.
Sampai sekarang pun, tempat pelayanannya masih terfokus ke komunitas bruderan. Yen mengungkapkan bahwa alasan utamanya bukan saja karena keanggotaan yang sedikit, tapi juga karena keikutsertaan atau keterlibatan anggota untuk pelayanan masih pasang surut. Tentu ada faktor kunci mengapa terjadi demikian. Tapi karena sudah menjadi panggilan, tamatan Teknik Sipil Universitas Nusa Cendana Kupang (2013) itu dan beberapa teman lainnya (Cici, Yun, misalnya) tetap menjalani tanggung jawabnya.
“Kita juga tidak bisa batasi teman-teman punya kegiatan pribadi. Karena kami semua kebanyakan sudah bekerja, maka banyak juga yang berhalangan, misalnya karena hari libur atau cuaca buruk, untuk buat pelayanan pada hari Sabtu sore itu. Kalaupun hadir, palingan 2-5 orang saja. Kita harus memaklumi keadaan ini. Tapi kalau tidak ikut pelayanan biasanya mereka beritahu lewat whatsapp. Dan kalau sudah beberapa kali tidak ikut maka kami akan mengontak mereka, atau berkunjung ke rumah atau kos teman-teman. Kami tidak mungkin batalkan kegiatan. Ini kan bagian dari komitmen dan panggilan,” ungkapnya.
Menyasar Anak-Anak Sekolah (SMA)
Bersamaan dengan ulang tahun berdirinya komunitas yang ke-50 (1968-2018), komunitas Sant’ Egidio Labuan Bajo berniat untuk lebih giat membuat pelayanan, termasuk juga membuka ruang pelayanan baru. Salah satu tempat yang menjadi target komunitas adalah panti lansia susteran Kottongae Labuan Bajo. Memang selama ini mereka sudah menjalin kerjasama yang positif dengan komunitas susteran tersebut. Tapi itu juga sangat bergantung pada komitmen dan kesetiaan masing-masing anggota. Sebab membuka tempat pelayanan baru pun membutuhkan tenaga pelayan yang tidak sedikit. Karena itu, mereka berniat untuk mendekati orang-orang muda, terutama siswa/I SMA.
Bukan Harta tapi Cinta
Mereka menyadari bahwa ada sebuah kesukaan dan kegembiraan tersendiri ketika melayani. Seolah-olah ada kerinduan yang terobati di ruang jiwa. Yen, yang saat ini bekerja sebagai konsultan pada PT Siar Plan Utama Labuan Bajo, sungguh-sungguh merasakan getaran itu.
“Kami tidak punya apa-apa. Uang, harta, sumbangan materi pun tidak ada untuk anak-anak panti. Tapi saya selalu berpegang pada semboyan komunitas yaitu: Kekayaan kita tak punya juga emas dan permata, yang kumiliki hanya Sabda Tuhan. Bangun dan jalan bersama. Sabda Tuhan ini adalah kegembiraan yang harus saya bagikan kepada sesama khususnya kepada adik-adik panti. Saya telah menerima anugerah cinta dan rahmat secara cuma-cuma dari Sang Pencipta dan sudah menjadi tanggung jawab saya untuk membagikan cinta kepada adik-ad di panti. Kita semua pasti sibuk dengan berbagai aktivitas pribadi, tapi ketika mau berhenti sejenak dari kesibukan kita yang hanya berfokus pada diri kita sendiri dan mau meluangkan waktu untuk berjumpa dan menjain persahabatan dengan adik-adik panti, itu adalah hal yang istemewa. Justru di situ kami merasa terpanggil. Puji Tuhan, karena antara anak-anak dan kami yang sebelumnya bahkan tidak ada kesepahaman, tapi perlahan-lahan muncul saling pengertian, entah lewat bahasa tubuh atau lewat bicara,” ungkap anak sulung dari tiga bersaudara itu.
Artikel ini pernah dimuat pada tabloid bulanan Warta Flobamora
COMMENTS