Gratia Amleni mengalami pengalaman Allah ketika melayani komunitas panti di Labuan Bajo.
![]() |
Gratia Amleni, salah seorang pendiri komunitas Sant' Egidio Labuan Bajo. Foto: Dok. Pribadi |
Tidak pernah terbayangkan dalam hidupnya, bahwa ia akan berjumpa dengan sesuatu yang mampu mengubah hidupnya. Ia yang dulu terkenal egois, cuek, dan ‘orang rumah’, kini telah menjadi seseorang yang amat peduli dengan anak-anak miskin dan terlantar.
Gratia Amleni (26), gadis kelahiran Atambua, Nusa Tenggara Timur, amat yakin bahwa Tuhan telah mengubah haluan hidupnya. Dilahirkan dari keluarga yang serba biasa, terutama dalam hal olah kesalehan, Cici, begitu sapaannya, tidak pernah menyangka bahwa dia akan bertemu dengan komunitas Sant’ Egidio, yang kemudian memberi cahaya baru dalam hidupnya. Di dalam dan melalui komunitas itu dia mengalami sebuah tranformasi hati yang sungguh-sungguh. Hatinya yang sebelumnya membatu, tapi kemudian dicairkan. Sungguh, mukjizat Tuhan telah terjadi dalam dirinya. Kepingan hatinya kini mulai terhitung dalam sejuta kebaikan yang ia pancarkan.
Pertemuan yang Kebetulan
Pertemuan Cici dengan komunitas Sant’ Egidio sangatlah kebetulan. Berawal dari ajakan seorang teman hingga keinginan untuk memiliki banyak teman, gadis yang kini bekerja sebagai PNS pada Dinas Perumahan Rakyat Labuan Bajo inipun nekad masuk ke dalam komunitas orang muda tersebut. Sebagai pendatang, Cici tentu tidak ingin merasa asing dengan dunia kerja baru yang mulai digelutinya sejak 2015 di kota pariwisata Komodo itu. Ia bersyukur, di sana ia menemukan pribadi-pribadi yang mampu meneguhkan kerinduan nuraninya.
Memang sebelumnya pernah mendengar nama Sant’ Egidio, tapi dia tidak pernah mengerti apa dan bagaimana maksudnya. Dia bahkan sempat berpikir kalau komunitas itu sebentuk kelompok Orang Muda Katolik (OMK). Namun akhirnya dia pun legowo untuk terlibat di dalam kegiatan komunitas yang di Labuan Bajo baru didirikan pada 6 Mei 2017. Bersama teman-teman mudanya (kira-kira 5 orang), dia menjadi pioner pembentukan komunitas itu. Sampai sekarang pun ia termasuk anggota paling aktif tatkala ada pelayanan.
“Dulu waktu masih sekolah, saya pernah dengar nama komunitas Sant’ Egidio. Karena kebetulan sekali ada di Atambua. Tapi waktu itu saya tidak mengerti apa-apa. Saya pikir itu semacam OMK. Jadi saya juga respon begitu-begitu saja. Saya dulu tertutup sekali. Tapi ketika saya masuk, semuanya terasa baru dan menarik. Semacam ada bisikan Roh Kudus lewat teman yang ajak saya. Kalau pelayanan, saya biasanya ditugaskan untuk angkat lagu, padahal suara saya jelek,” ungkap alumnus Institut Teknologi Negeri Malang itu.
Komunitas Orang Miskin
Cici begitu tertarik dan ‘terpanggil’ kepada komunitas Sant’ Egidio. Selain karena beranggotakan orang-orang muda seperti dirinya, komunitas ini memberi perhatian khusus kepada orang miskin. Dan itu yang membuatnya tersentuh. Sejak didirikan oleh Andrea Riccardi pada 7 Februari 1968, di Roma, Italia, komunitas ini sudah tersebar ke seluruh dunia seperti di Amerika, Afrika, Eropa, dan Asia. Komunitas ini masuk ke Indonesia pada tahun 1991 di kota Padang lalu berkembang di beberapa kota seperti Yogyakarta, Aceh, Nias, Medan, Duri, Pontianak, Jakarta, Bogor, Kupang, Semarang, Denpasar, Maumere, Atambua, dan Labuan Bajo.
Sant’ Egidio pertama-tama dididirikan untuk membangun jembatan cinta kasih di antara semua umat manusia, tanpa membedakan agama, suku, ras, dan golongan. Fokus pelayanan mereka adalah ada bersama dengan orang-orang lemah, kaum miskin dan terlantar, lansia, korban perang, gelandangan, orang sakit, penderita kusta dan HIV/AIDS, serta bentuk-bentuk kemiskinan lainnya.
Ada empat spiritualitas yang mencirikan cara hidup komunitas Sant’ Egidio, yaitu doa, komunikasi Injili, ekumenisme, dan dialog. Di bawah payung keempat spiritualitas itulah Cici dan teman-temannya ingin membangun komunitas Labuan Bajo yang mengimbangi semangat pelayanan dan doa. Sebab baginya, doa dan Kitab suci merupakan sumber dan puncak setiap pelayanan kasih.
Dari ‘Aneh’ Jadi Peduli
Sejak terlibat aktif dalam pelayanan bersama komunitas Sant’ Egidio Labuan Bajo, putri sulung dari tiga bersaudara ini merasa ada sesuatu yang aneh dengan apa yang dibuatnya. Misalnya ketika melayani anak-anak berkebutuhan khusus (baca: difabel) di komunitas bruderan Missionary of The Poor (MOP) Labuan Bajo. Dia merasa “aneh” karena sebelumnya dia tidak pernah menyentuh langsung tubuh anak-anak yang tergolong cacat itu. Pernah dia dan keluarganya memberikan bantuan kepada anak-anak panti asuhan, tapi dia tidak pernah berbuat seperti yang dialaminya saat ini. Mereka hanya dilihatnya dari jauh atau bertatapan muka, tapi tidak pernah memandikan, mengajar, atau ada bersama. Cici menghayati sungguh apa yang dikatakan Andrea Riccardi: “Tidak ada seorangpun yang terlalu miskin, yang tidak dapat membantu orang miskin lainnya.”
“Jujur saya merasa jijik, aneh, dengan anak-anak yang saya layani. Ada satu anak yang selalu keluar ingusannya. Badan mereka pun bau sekali. Saya tidak tahan. Karena saya dulu itu angkuh dan tidak mau urus dengan orang lain. Tapi kemudian tumbuh rasa kasihan dan peduli dengan anak-anak itu. Puji Tuhan, seiring berjalannya waktu, saya pun bisa beradaptasi dan melayani dengan hati. Saya bersyukur karena punya fisik yang lengkap tidak seperti mereka. Setiap kali kami datang di Sabtu sore, mereka pasti selalu panggil nama saya. Mungkin nama saya yang paling mudah diingat,” kata gadis berkulit sawo matang itu.
Ingat Pesan Injil
Selain melayani di panti asuhan bruderan MOP, Cici dkk juga melayani kaum lansia di panti susteran Kottongae. Ketika melayani oma-oma lansia dan anak-anak difabel itulah Cici merasakan kehadiran Yesus. Dia percaya Yesus datang melalui orang-orang yang kotor, berdosa, cacat, dan sakit. Apa yang disabdakan Yesus dalam Mat 25:35 sungguh dihayati gadis berperawakan cantik ini.
“Bertemu dengan mereka sama dengan bertemu dengan Tuhan Yesus. Saya bersyukur Tuhan telah membawa saya ke komunitas ini. Lewat perjumpaan dengan mereka, saya mengalami sekaligus menyalurkan kasih Yesus. Dia sendiri pernah katakan: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan, ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum, ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan.” Karena itu, saya berjanji memperbaharui komitmen untuk melayani lebih sungguh, seperti kata-Nya: “bertolaklah ke tempat yang dalam, dan tebarkan jalamu (Luk 5:4),” ungkap bendahara komunitas Sant’ Egidio Labuan Bajo itu.*
COMMENTS